Jakarta, Kompas - Keterbukaan dalam dunia konsumsi, di antaranya, menuntut pelabelan produk makanan, termasuk produk turunan dari produk rekayasa genetika. Pelabelan demi kejujuran juga disyaratkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
"Intinya, yang harus didesakkan adalah pendekatan kehati-hatian," kata Ketua Aliansi Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko di Jakarta, Selasa (2/10). Kehati-hatian juga ditegaskan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika.
Pada peraturan pemerintah itu secara jelas diungkapkan, pemohon diwajibkan melakukan uji keamanan lingkungan, keamanan pangan, dan keamanan pakan di laboratorium. Kedua produk hukum itu, lanjut Tejo, memberi jaminan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab serta keterbukaan informasi pangan bagi konsumen.
"Seharusnya ada kebebasan informasi di mana masyarakat bisa mengakses. Kalau produk itu aman-aman saja, pasti informasinya terbuka ke publik tentang proses bagaimana cara membuat produk transgenik," ujarnya.
Contoh jelas adalah tempe yang disebutkan aman-aman saja. Padahal, UU No 32/2009 itu mewajibkan pemilahan antara produk yang mengandung bahan transgenik dan tidak.
Di Amerika Serikat (AS), saat ini, sejumlah kalangan di California mendesak adanya produk hukum yang mewajibkan pelabelan produk yang mengandung bahan transgenik.
Peneliti tanaman transgenik pada Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Enny Sudarmonowati, mengatakan, produk transgenik yang diimpor ke Indonesia selama ini tak diberi label. Untuk menjaga keamanan pangan, semestinya diberi label.
"Produk transgenik impor dari AS, seperti kedelai, tidak diberi label karena mungkin dianggap aman dan sudah biasa dikonsumsi," kata Enny.
Saat ini, Indonesia mengimpor sekitar 60 persen dari 2 juta ton kekurangan suplai kedelai dari AS. "Impor dari AS sudah pasti kedelai transgenik," ujar Tejo. Produk kedelai dalam negeri sendiri hanya sekitar 700.000 ton, sedangkan kebutuhan konsumsi Indonesia mencapai 2,7 juta ton.
Tugas negara
Pelabelan, menurut anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Husna Zahir, diperlukan sebagai bentuk perlindungan terhadap warga negara. Itu penting karena masyarakat tidak memiliki kemampuan melindungi diri sendiri dari keamanan pangan.
"Melindungi masyarakat dari produk pangan berbahaya bagi kesehatan menjadi tugas negara," kata Husna. Masyarakat, sebagai konsumen berhak memperoleh informasi yang benar tentang produk yang mereka konsumsi.
"Keamanan pangan itu mutlak. Tanpa diminta masyarakat, seharusnya pemerintah sudah melakukan uji keamanan pangan secara aktif," lanjutnya.
Produk rekayasa genetika yang umumnya produk impor perlu pengawasan ketat negara. Pemerintah perlu melakukan cek ulang terhadap dokumen impor yang masuk agar produk itu tak bercampur produk non-transgenik lain.
"Kalau perlu, lakukan pengkajian terhadap semua produk yang masuk," kata Husna. Ia mengaku tak tahu sejauh mana Kementerian Pertanian mewajibkan pelabelan yang memberi informasi tentang produk rekayasa genetika.
Menurut Enny, LIPI sebenarnya juga sudah memproduksi produk transgenik untuk tanaman singkong dan beberapa jenis tanaman kehutanan. Singkong transgenik diupayakan lebih tahan terhadap kondisi kekeringan. Beberapa jenis tanaman kehutanan sebagai produk transgenik adalah sengon, akasia, dan eukaliptus. (ISW/NAW/IND)