JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah menunggu tiga tahun, Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan Jiwa akhirnya masuk dalam prioritas prolegnas tambahan tahun 2012 dan akan segera dibahas. Ketua panitia kerja RUU kesehatan jiwa, Nova Riyanti Yusuf, mengakui bahwa RUU tersebut termasuk yang sulit digolkan di DPR.
Sulitnya meloloskan RUU tersebut, menurut anggota komisi IX DPR RI itu, antara lain disebabkan karena kuatnya stigma di masyarakat akan penyakit gangguan jiwa. "Jadi bukan hanya pasien dan keluarganya saja yang mendapat stigma, bahkan RUU juga," kata politisi yang juga menggagas RUU tersebut.
Nova menjelaskan bahwa RUU Kesehatan Jiwa berisi tentang hak dan kewajiban orang dengan gangguan jiwa. Dalam RUU tersebut juga diatur mengenai sumber daya kesehatan jiwa, termasuk dokter dan perawatnya.
"Harus ada keberpihakan pada layanan kesehatan jiwa. Bila disahkan undang-undang tersebut bisa menjadi payung hukum untuk melindungi orang dengan gangguan jiwa, keluarganya dan juga masyarakat," paparnya di sela acara temu media berkaitan dengan pemberian penghargaan Dr.Guislain Breaking the Chains of Stigma kepada Bagus Utomo di Jakarta, Selasa (23/10/2012).
RUU Kesehatan Jiwa akan mencakup aspek preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif terhadap siapapun yang mengalami gangguan jiwa.
Politisi dari Partai Demokrat tersebut juga mengatakan jika dibandingkan dengan Srilanka yang sudah punya UU Kesehatan Jiwa sejak tahun 2005, Indonesia termasuk ketinggalan.
"Srilanka langsung membuat UU tersebut setahun setelah terjadinya tsunami di negaranya. Padahal tsunami di negara kita jauh lebih dahsyat, belum lagi potensi bencana alam lain," paparnya.
Ia menjelaskan bahwa di daerah yang rawan bencana seharusnya dipersiapkan bantuan pertama pada psikologi untuk pendampingan penyintas bencana alam.
Selama ini menurut Nova, pasal tentang kesehatan jiwa tercecer di banyak undang-undang seperti di UU KDRT atau bencana alam. "Karena tidak ada payung hukum yang jelas, lembaga yang berwenang bisa saling melempar tanggung jawab," katanya.