KOMPAS.com - Dalam suatu pelatihan coaching, banyak peserta yang celingak-celinguk dan berpikir keras, saat saya bertanya: "Siapa atasan yang Anda anggap sebagai "coach" dan berkontribusi pada keberhasilan Anda?".
Ternyata, bagi mereka tidak mudah menemukan satu tokoh yang benar-benar berarti dalam "membuat" diri mereka sukses. Para hadirin ini memang punya atasan yang melakukan bimbingan, namun, mungkin mereka dirasa kurang memberi nilai tambah secara signifikan, sehingga belum "sah" diberi label "coach".
Sebaliknya, seorang teman yang sukses di kariernya, sering sekali menyebutkan dosen pembimbing skripsinya saat kuliah dulu sebagai "coach" yang andal. Padahal, masa bimbingan ketika itu hanyalah 6 bulan. "Dia memberi saya beberapa guidelines yang tidak boleh dilanggar, serta langkah-langkah yang perlu dijalankan. Demikian jelasnya, sehingga sampai sekarang pun saya tidak berani menyalahi aturan tersebut", katanya. Kita bisa lihat betapa "coach" yang berhasil akan diingat seumur hidup oleh "coachee"-nya.
Memang beruntung individu yang mendapat bimbingan dari atasan yang juga berperan sebagai "coach". Terbukanya kesempatan untuk tumbuh, mencoba hal baru, mengasah kekuatan emosi lewat tugas yang gagal maupun berhasil, menemukan talenta dan mengoptimalkan potensi tentu akan membuat individu happy dan engaged karena merasa dirinya "berarti". Bayangkan, bila lebih dari satu orang di organisasi yang mengalami hal ini, betapa besarnya impact positif yang bisa ditimbulkan bagi tim, organisasi, dan bangsa.
Sebaliknya, orang yang tidak mendapat kesempatan coaching, terpaksa harus mempunyai ekstra tenaga, belajar, berstrategi, dan mencari jalannya sendiri untuk sukses berkarier.
Bila melihat banyak keluhan akan kurang tumbuhnya pemimpin yang kuat sebagai pemimpin masa depan, baik di dalam organisasi maupun bangsa, kita mungkin bertanya-tanya, apakah memang para atasan tidak menyadari pentingnya memperkuat perannya sebagai coach? Ataukah, memang banyak organisasi tidak berupaya membudayakan coaching dan semata hanya berfokus pada "untung-rugi" jangka pendek?
"A wake up call"
Survei menunjukkan 93 persen orang mengakui pentingnya coaching untuk pengembangan individu dan tim. Namun, organisasi yang betul-betul menunjukkan langkah nyata untuk mengembangkan budaya coaching tidak lebih dari 15 persen.
Bila ditanya, mengapa para manager atau pimpinan tidak memprioritaskan coaching, padahal manfaatnya jelas-jelas nyata, maka banyak alasan dikemukakan seputar alokasi waktu, fokus dan benefit-nya. Sementara, kesadaran bahwa investasi perusahaan untuk merekrut orang orang terbaik dan keharusan untuk menjaga spirit, motivasi, serta kesiapan mereka untuk menghadapi tantangan yang lebih besar sering dilupakan. Padahal, sukses kita di masa depan bergantung pada suksesi dan kesiapan generasi yang muda-muda ini. Tidakkah kita melihat ini sebagai "wake up call" tanda bahaya bagi kita semua?
Bila kita betul-betul berniat melakukan coaching, pernahkah kita bertanya pada diri sendiri, apakah kita punya bekal memadai untuk melakukan coaching? Kita lihat banyak orang yang sangat piawai di bidangnya, melalui pengalaman yang bertahun-tahun, dan bermacam-macam pelatihan, tetapi tidak bisa menurunkan keahliannya pada orang lain.
Apa yang perlu kita asah? Seorang coach yang baik, setidaknya perlu kejelian untuk mengidentifikasi talenta anak buahnya, yang bisa dikembangkan untuk posisi yang lebih tinggi. Ini baru salah satu skill yang dibutuhkan seorang coach. Ia kemudian perlu menemukan jalur kesempatan bagi anak buah untuk maju dalam organisasi. Hal ini tentu tidak mudah mengingat organisasi sudah jelas-jelas berbentuk kerucut.
Itulah sebabnya seorang coach dituntut untuk jago dalam pemahaman organisasi, menguasai lapangan, sehingga kesempatan bagi anak buah bisa tercipta. Anak buah bisa digerakkan dalam jalur yang formal, dengan ekspertis yang sama, tetapi juga bisa digerakkan secara lateral, pindah bidang, atau bahkan ke teritori lain.
Jadi, coach perlu pandai-pandai mendesain jalur perkembangan anak buah. Ia pun perlu membagi-bagi ketrampilan menjadi sepotong-sepotong, sehingga anak buah tidak putus asa, bosan, ataupun lelah. Anak buah perlu merasakan adanya bayang bayang yang siap menangkap , bila ia akan jatuh.
Menumbuhkan manusia
Seorang ahli mempopulerkan istilah "GROW" dalam coaching. "G" adalah Goal, "R" untuk Reality, "O" untuk Opportunity, dan "W" untuk Will. Formula yang tampak sederhana ini, dalam kenyataan di lapangan sangatlah menantang.
Tidak semua orang bisa mengajak anak buahnya membuat semacam agreement, untuk melakukan usaha ekstra, di luar pekerjaannya, walaupun untuk kepentingannya sendiri. Ini butuh kemampuan membangun trust, bicara mata ke mata, sehingga ambisi anak buah untuk mencapai kemampuan yang lebih tinggi tumbuh dan terjaga.
Sulit bagi atasan yang memainkan peran coach untuk menjaga suasana bila ia tidak dibekali sense of humor yang cukup, kemampuan trial and error, serta keberanian mengambil risiko. Di samping itu, coach perlu mengasah kemampuan komunikasi. Terkadang, ia perlu mengajukan pertanyaan retorik, baik untuk menemukan kekuatan atau kelemahan si coachee ataupun untuk memancing kesadarannya, dan menemukan perasaan dan keadaan dirinya. Kita tahu bahwa coach yang terlatih juga banyak menggunakan insting dan intuisinya untuk meraba keadaan, mendengarkan hati nuraninya.
Seorang coach memang hampir-hampir seperti "Superman". Ia perlu memiliki kombinasi antara kematangan pribadi, human qualities, dan penguasaan ketrampilan profesionalnya sendiri. Kita bisa lihat betapa menjadikan seseorang untuk mengisi "the next generation of leadership" memerlukan kompetensi dan ketrampilan khusus yang perlu diasah dengan serius.
Namun, sekali kita menguasainya, mungkin kita tidak pernah melupakannya. Ukuran dari kompetensi ini adalah apakah anak buah secara sukarela datang kepada kita bila sedang menghadapi kesulitan, atau sukarela meminta tantangan bagi pengembangan dirinya.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini