KOMPAS.com - Data studi mengenai status gizi anak usia 6 bulan sampai 12 tahun (SEANUTS) menunjukkan, prevalensi anak balita pendek tidak banyak berubah, yakni sekitar 34 persen. Besarnya angka balita pendek merupakan indikator masalah kurang gizi.
Angka tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan data Riskesdas 2010 yang menunjukkan angka 35,6 persen. Itu berarti, hampir separuh balita kita memiliki tinggi badan lebih pendek daripada seharusnya.
Berdasarkan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Kesehatan pada 2010, tinggi badan anak laki- laki Indonesia pada umur 5 tahun rata-rata kurang 6,7 sentimeter dari tinggi yang seharusnya, sedangkan pada anak perempuan kurang 7,3 sentimeter. Anak umur 5 tahun seharusnya memiliki tinggi badan 110 sentimeter.
Tubuh pendek (stunting) terjadi akibat kekurangan gizi berulang dalam waktu lama pada masa janin hingga usia dua tahun pertama kehidupan seorang anak. Sayangnya, masyarakat kita masih belum menyadari bahwa hal tersebut merupakan masalah serius. Stunting dapat berakibat fatal bagi produktivitas di masa dewasa. Hal ini seharusnya tidak diremehkan karena berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Untuk menurunkan angka balita stunting diperlukan intervensi sejak kehamilan karena persoalan itu adalah sebuah siklus.
"Saat ini pemerintah fokus pada program 1000 hari pertama, yakni pemeliharaan gizi sejak kehamilan sampai bayi berusia dua tahun," kata dr Atmarita dari Balitbang Depkes dalam acara pemaparan hasil studi SEANUTS di Jakarta, Rabu (14/11/12).
Ia menambahkan, syarat utama dari program 1000 hari pertama itu adalah ketahanan pangan. "Kalau yang dimakan cukup tentu gizi kurang bisa ditekan. Ini berarti terkait juga dengan faktor ekonomi, subsidi, dan sebagainya," imbuhnya.
Selain kebutuhan pangan, hal lain yang tak kalah penting adalah pemberian ASI eksklusif, makanan pendamping ASI yang bergizi, serta imunisasi.