KOMPAS.com - Tidak sekali dua kali kita mendengar karyawan, bahkan leaders melihat coaching sebagai kegiatan yang "berjarak", dianggap pekerjaan tambahan, atau bahkan eksklusif bagi orang tertentu saja di organisasi. Padahal, di sekitar kita, bisa kita saksikan organisasi di mana coaching menjadi bagian sehari-hari dari situasi kerja, sudah membudaya secara progresif.
Tengok di restoran fastfood, saat seorang supervisor dengan gigih mengajarkan pada para pramusaji, cara melafalkan menu makanan yang kebetulan berjudul asing. Bukankah hal sederhana ini menggugah hati kita dan menyadarkan pada kita betapa learning dibutuhkan di setiap profesi?
Contoh lain, kita juga kerap berlaku tidak sabar, geregetan, saat dilayani frontliner baru yang didampingi oleh seniornya. Sebagai pelanggan, kita menjadi korban proses belajar sang pemain baru. Namun, bisakah kita bayangkan bahwa perusahaan ini sedang melipatgandakan kapasitasnya untuk berkembang, agar bisa melayani pelanggan dengan lebih baik, dan melipatgandakan jumlah cabangnya? Ujung-ujungnya, tidak hanya individu yang menerima pelajaran yang diuntungkan, namun saat ia bertambah pintar, sang coach alias atasan, bisnis, juga pelanggan langsung bisa merasakan manfaat dari individu yang makin capable dan proses kerja yang semakin "canggih". Bukankah "learning organization" seperti ini yang kita idam-idamkan?
Di samping menghitung laba, kita memang perlu secara berkala mengukur sejauh mana coaching membudaya dan mengecek apakah organisasi kita mengarah ke learning organization. Ini penting, karena laba saja tidak bisa dijadikan kapital untuk maju. Dalam perusahaan dengan budaya coaching yang mantap, setiap karyawan selalu ingin berprestasi lebih baik lagi, dan siap menerkam "opportunity" di depan. Atasan-bawahan bisa membicarakan pekerjaan secara santai dengan target meningkatkan kompetensi dan kualitas kerja.
Perusahaan dengan budaya coaching yang kuat menjunjung tinggi nilai-nilai potensi manusia, sehingga pembicaraan korektif di antara atasan dan bawahan untuk memuaskan pelanggan internal dan eksternal, apapun bentuknya, diwarnai respek dan trust yang tinggi. Sebaliknya, coaching sulit tumbuh bila kita banyak melihat atasan atau teman "membuang muka" bila ada rekan kerja berbuat salah.
Kita juga sudah pasti tidak bisa melihat budaya coaching tumbuh, bila setiap ada kesalahan ditemukan terjadi pengkambinghitaman atau pen-cucitangan-an. Semakin coaching tidak dilakukan, kita akan melihat hubungan semakin longgar dan kinerja pun tidak bisa diramalkan. Pertanyaannya, bagaimana menghentikan lingkaran setan ini? Sudahkah kita menjalankan upaya yang tepat, sehingga hasil belajar yang kita inginkan bisa kita lihat dalam kurun waktu yang terprediksi?
Sasaran coaching = sasaran bisnis
Kita tahu bahwa setiap organisasi perlu mempunyai tujuan yang jelas. Setiap organisasi tentu perlu mengkomunikasikan sasarannya: tahunan, bulanan, kalau perlu mingguan kepada seluruh karyawannya. Sukses unit bisnis, departemen, ataupun perusahaan secara keseluruhan lah yang harus menjadi sasaran coaching. Misalnya, perusahaan ingin menurunkan cost sebesar 10 persen, maka tujuan inilah yang menjadi patokan pengajarannya. Saat organisasi menargetkan untuk mencapai "juara servis", kita pun perlu tahu apa yang diukur, bagaimana mengukurnya, dan apa kriterianya.
Bila perusahaan akan mendapatkan lebih banyak proyek dari kemampuan teknis karyawannya, maka otomatis karyawan akan terdorong belajar bahkan berlomba mengasah dan menguasai ketrampilan demi ketrampilan. Saat sasaran, konten, urgensi, dan benefit jelas, barulah individu belajar untuk mencapai sasaran dan berkontribusi dengan cara yang lebih baik. Dengan tujuan yang clear, baru kita bisa menghidupkan suasana pembelajaran yang baik. Jadi, coaching culture perlu tetap dijadikan inisiatif bisnis, bukan sekadar program pengembangan manusia.
Budaya coaching tidak bisa dipaksakan dengan semata melakukan pelatihan coaching bagi tiap atasan. Ketrampilan coaching tidak akan menjadi amunisi hebat, bila konten dari inisiatif program coaching tidak dibuat. Jadi, konten harus jelas dulu, selanjutnya barulah para leader ini perlu mengembangkan kepemimpinan yang menggunakan pendekatan coaching dalam persuasi untuk mencapai konten atau sasaran bisnis tersebut.
Coaching adalah "applied leadership", di mana persuasi dilakukan dengan gaya bicara yang cerdas secara emosional, ber-EQ tinggi. Itulah sebabnya, saat Bank Mandiri menerapkan "7 Steps Service Coaching" dalam upaya menjadi juara servis, setiap atasan berlatih untuk mengungkapkan perasaannya, obsesi dan standarnya, sampai menyentuh "rasa".
Hanya dengan sentuhan rasa, engagement bisa terjadi, dan pada saat itulah feedback baru bisa efektif, tanpa penolakan atau pengelakan, malah menjadi sarana belajar. Pembentukan hubungan "tutor-trainee"dan "coach-coachee", buddy system, kemudian menjadi struktur kegiatan coaching yang akan menjamin penyebaran dan pencatatan hasil yang dimiliki semua orang.
Motor "coaching": "self belief"
Kita belum bisa mengatakan perusahaan kita berbudaya coaching, bila sesi pembelajaran yang terjadi bersuasana kaku dan menegangkan. Kita pun makin sadar bahwa kita tidak bisa hanya mengandalkan "classroom training" saja. Kita tahu bila pekerjaan sedang padat, maka karyawan yang ada di kelas training hanya memberi separuh fokus, karena separuh fokusnya tertinggal di pekerjaan. Ini berarti pelajaran terbesar tetap adanya "on the job". Atasanlah yang perlu kreatif mengupayakan learning platform yang menarik, misalnya real-play, role-play atau simulasi yang benar-benar berdampak langsung terhadap perubahan perilaku.
Dalam perusahaan yang sudah terlihat budaya "coaching"-nya, kekayaan perusahaan justru terletak pada "self belief" karyawannya. Begitu karyawan sudah mengembangkan self belief, maka ia akan memilih cara belajarnya sendiri, yang akhirnya pasti membawa suasana ingin tahu yang tinggi tetapi bertanggung jawab. Risiko dan kesalahan dianggap sebagai ujian dan studi kasus, yang kalau perlu dibicarakan bersama.
Inilah suasana yang paling empuk untuk memasukkan ilmu dan ketrampilan baru, karena kehausan individu untuk belajar tidak ada habisnya. Bayangkan betapa positifnya suasana dalam organisasi bila setiap karyawan rela bekerja dan berpikir keras karena suasana kerja yang kondusif untuk belajar dan menerima kritik dan masukan. Bila organisasi bisa menyedot tuntas manfaat dari kekuatan, ide-ide, kebijaksanaan, know-how, dan hasil belajar setiap karyawan yang ada, tantangan kompetisi sekuat apapun pasti bisa dihadapi.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini