KOMPAS.com - Proses kreatifnya sulit dibendung, khususnya ketika tubuhnya semakin lemah didera sakit. Pergelaran tahunan ke-37 Ramli adalah sintesis pergulatannya. Di sana ada passion, cinta, dan kepasrahan pada takdir.
Hari-hari menjelang pergelaran "37 Tahun Ramli Berkarya" yang berlangsung Rabu (21/11/2012) malam di Grand Ballroom Hotel Indonesia Kempinski adalah momen yang mendebarkan bagi Ramli dan para sahabatnya. Kondisi fisiknya terus melemah. Berat badannya menyusut, wajahnya pucat. Rasa sakit di perutnya akibat deraan kanker usus semakin menghebat. Hampir semua asupan makanan yang diberikan dimuntahkan kembali.
Hari Minggu (18/11/2012), selepas maghrib, para sahabatnya mengadakan pengajian di kediaman Ramli di Jalan Semarang, Menteng, untuk mendoakan kesehatannya. "Kata dokter, Ramli nggak boleh capek, tapi kan dua hari lagi ada pergelaran tahunan. Mas Ramli sulit dibilangin untuk istirahat. Bingung aku," kata sahabatnya, Mien Uno, lewat pesan singkat.
Sehari sebelum pergelaran, Ramli dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan. Para sahabatnya mengatakan, wajahnya sudah semakin pucat. Ia diharuskan menggunakan kursi roda.
Hari itu, ia masih bisa mengangkat telepon. "Doain ya, doain ini bukan pergelaran terakhirku. Aku masih pengin berkarya terus. Aku takut...," katanya terbata.
Ramli menceritakan, dokter memasang ring di levernya sehingga cairan dari empedu bisa dialirkan. Setiap kali melangkahkan kaki, katanya, perutnya sakit seperti diiris. "Doakan aku kuat dan pergelarannya lancar," lanjut Ramli.
Pergelaran malam itu memang terasa lebih emosional dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Bukan saja karena tempat duduk dipenuhi para sahabat Ramli, di antaranya Ny Try Sutrisno dan Ny Ali Alatas, melainkan juga karena rasa haru menyaksikan Ramli "bergulat" dengan rasa sakit demi memberikan suguhan yang terbaik.
"Dari siang Mas Ramli masih ikut ngatur, meski dari atas kursi roda," kata Mien Uno yang malam itu tampil di catwalk bersama para peragawati senior, seperti Rima Melati, Enny Soekamto, Niesye, Dian Tanjung, dan Citra.
Corak tradisi
Malam itu, Ramli menampilkan sekitar 100 koleksi busana yang motif kainnya terinspirasi corak tradisi empat daerah, yakni DKI Jakarta (Betawi), Sampang (Madura), Lampung, dan Kepulauan Riau. Eksplorasi Ramli terhadap ragam tradisi di empat wilayah ini sudah berlangsung bertahun-tahun.
Dari corak Betawi, Ramli kembali mengangkat kebaya encim dengan aplikasi bordir yang menjadi kekuatannya. Di tangan Ramli, kebaya encim diolah menjadi busana kantor dengan cara memadukannya bersama setelan blazer dan rok, atau celana panjang berwarna senada. Keindahan bordir kebaya encim menyembul di balik blazer berpotongan sederhana.
Ramli juga mengolah motif tapis Lampung pada busana malam dan kasual. Tapis tidak hanya menjadi aksen pada kerah dan pinggiran gaun. Pada sejumlah koleksi, motif ditransformasikan menjadi materi utama. Motif geometris yang diambil dari corak tapis, misalnya, dipindahkan menjadi baju malam dari bahan organdi berwarna putih atau menjadi syal yang maskulin pada setelan jas pria.
Dari Sampang, Madura, motif batik—terutama motif karapan sapi—diolah Ramli menjadi jas elegan dan kemeja kasual, berpadu dengan kaus bergaris-garis merah putih khas Madura. Sementara batik madura berbahan katun dan sutra dirancang menjadi rok klok pendek yang berpadu apik dengan blus putih beraksen bordir. Sentuhan batik madura juga diaplikasikan pada gaun-gaun malam berwarna hitam yang dilengkapi aneka selendang.
Sementara dari Kepulauan Riau, Ramli masih terus mengeksplorasi motif-motif yang selama beberapa tahun terakhir menjadi perhatiannya, seperti ukiran rumah adat, flora, dan anyaman tikar.
Secara keseluruhan, desain busana yang ditampilkan Ramli belum banyak beranjak dari desain klasik yang selama ini menjadi ciri khasnya, seperti atasan dengan potongan off-shoulder ataupun sabrina, kebaya encim dengan aplikasi bordir, celana lebar, rok panjang berlipit, serta atasan tunik atau yang berbentuk turbular.
Ramli beberapa kali menyatakan, rancangannya itu disesuaikan dengan tuntutan pasar, khususnya para pelanggannya yang mayoritas perempuan berusia matang dan mapan. Seperti yang malam itu memenuhi ratusan tempat duduk dalam pergelarannya.
(Nur Hidayati/ Myrna Ratna)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini