Kompas.com - Batuk telah menyebabkan ribuan orang berobat ke dokter setiap tahunnya dibandingkan dengan gejala yang lebih spesifik lainnya. Obat batuk yang dijual bebas pun termasuk obat yang paling laris.
Sudah jelas masyarakat sangat peduli pada batuk yang dideritanya dan sangat percaya pada obat batuk. Padahal, beberapa penelitian tidak menemukan kaitan antara obat yang dikonsumsi dengan kesembuhan batuk.
Badan pengawasan obat sudah melinsensi obat batuk lebih dari 50 tahun lalu, tetapi sampai saat ini belum ada bukti ilmiah kuat yang membuktikan obat tersebut memang efektif mengatasi batuk.
Berikut adalah beberapa penelitan seputar obat batuk.
- Studi analisa yang dilakukan tahun 2010 tidak menemukan bukti yang mendukung pentingnya penggunaan obat batuk yang dijual bebas. Ini termasuk obat jenis supresan seperti dextromethrophan, atau ekspektoran yang dimasuksudkan untuk mengeluarkan lendir di saluran napas.
- Pada tahun 2006, The American College of Chest Physicians melakukan survei mengeni sejumlah obat batuk yang diteliti dalam beberapa dekade. Tidak ditemukan bukti bahwa obat itu bisa menyembuhkan batuk yang disebabkan oleh virus.
Penting untuk memahami bahwa riset-riset tersebut tidak membuktikan bahwa obat batuk tidak bekerja. Melainkan, mereka tidak menemukan bukti-bukti. Terbuka kemungkinan penelitian di masa depan yang bisa membuktikan obat batuk memang membantu.
Karena ketiadaan bukti tersebut, pada tahun 2008 Badan Pengawas Obat dan Makanan AS menyatakan bayi dan balita tidak memerlukan obat batuk dan flu. Perusahaan farmasi juga diminta mengubah label dalam obat yang dijual bebas dan menyebutkan bahwa obat flu dan batuk hanya untuk anak di atas usia empat tahun.
Para dokter anak di AS juga menyarankan agar orangtua tidak memberikan obat flu dan batuk pada anak berusia di bawah 6 tahun. Sayangnya menurut surveri terbaru lebih dari 60 persen orangtua di AS memberikan obat batuk dan flu pada anak mereka yang berusia kurang dari dua tahun.
Lantas, jika obat batuk memang tidak efektif mengapa obat ini tetap laris dan populer? Menurut John E.Heffner, ahli paru dan mantan presiden American Thoraric Society, bagi kebanyakan orang obat batuk memberikan rasa tenang.
Saat kita menderita batuk parah, apalagi pada anak, kita merasa perlu melakukan sesuatu untuk menghilangkannya. "Jika ada obat yang dijual bebas yang bisa kita pakai, kita akan merasa lebih punya kontrol," katanya.
Kebanyakan orang juga merasa lebih baik beberapa hari setelah minum obat batuk sehingga mereka berasumsi obatnya bekerja. "Faktanya, batuk itu memang sembuh sendiri. Obat hanya membantu sedikit," imbuhnya.
Walau obat batuk tak banyak membantu, tetapi efek samping obat ini kecil, termasuk untuk anak berusia di atas 6 tahun. Tetapi orang yang batuknya tidak sembuh dalam lima hari sebaiknya memeriksakan diri ke dokter.
Berhati-hatilah dalam menggunakan obat batuk dan flu. Kemungkinan kelebihan dosis sangat besar karena seseorang mungkin mengonsumsi lebih dari satu produk obat tanpa menyadari keduanya mengandung zat yang sama.
Yang juga banyak terjadi seseorang minum melebihi dosis yang dianjurkan karena merasa batuknya tak juga reda. "Jika dosis yang dianjurkan tidak membantu, menambah dosis apalagi," katanya.
Pada batuk yang sudah kronik, Heffner menyarankan untuk mencoba obat supresan. Pada beberapa pasien hal ini bisa membantu.
Pengobatan tradisional seperti menambahkan sedikit madu pada teh hangat sebenarnya cukup efektif meredakan batuk, terutama pada anak-anak.
Batuk sebenarnya bukan penyakit tetapi cara tubuh untuk mengeluarkan kelebihan lendir atau iritan lainnya. Tetapi tetap saja kita merasa lebih nyaman jika meminum sesendok obat batuk, entah obat itu bekerja atau tidak.