Oleh Indira Permanasari
Talasemia beta dengan gambaran penderita harus mendapatkan transfusi darah seumur hidup lebih dikenal ketimbang talasemia alfa. Namun, sebetulnya talasemia alfa tak kalah berbahaya. Bahkan, beban akibat kelainan darah ini sudah dialami janin dan ibunya sejak dalam kandungan.
Menurut Pustika Amalia Wahidiyat dari Pusat Talasemia dan Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo dalam seminar ilmiah nasional "Keanekaragaman Fenotip dan Genotip Thalassemia Alfa di Indonesia", pekan lalu, talasemia merupakan kelainan darah yang menurun.
Hemoglobin (molekul dalam sel darah merah) dibentuk oleh sepasang rantai protein, rantai globin alfa dan globin beta. Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dari paru ke seluruh bagian tubuh. Pada penderita talasemia, ada rantai globin yang tidak utuh sehingga keping darah mudah pecah. Ikatan rantai alfa dan beta yang pecah melepaskan zat besi yang merupakan unsur pengikat hemoglobin. Akibatnya, terjadi kekurangan darah dan penumpukan zat besi dalam tubuh.
Sejak dalam kandungan
Talasemia alfa disebabkan mutasi gen globin, yakni tak sempurnanya (non-delesi) atau hilangnya globin alfa (delesi gen). Mutasi pada globin alfa menyebabkan talasemia sejak janin. Rantai globin alfa merupakan komponen penting molekul hemoglobin janin (HbF) yang berperan penting dalam pertumbuhan janin.
Dokter spesialis anak yang juga peneliti di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Iswari Setianingsih, mengatakan, pada talasemia alfa yang sama sekali tak ada gen alfa, umumnya janin tidak dapat bertahan hidup sehingga ibu keguguran. "Berbeda dengan talasemia beta berat, bayi dapat lahir hidup karena masih memiliki gen alfa. Produksi hemoglobin dewasa yang butuh gen beta dimulai setelah bayi lahir. Jadi, terkesan talasemia beta lebih banyak kasus," ujarnya. Bayi talasemia alfa yang berhasil lahir biasanya talasemia alfa ringan atau sedang.
Penelitian pada beberapa populasi di Indonesia (Aceh, Sumatera Selatan, Sumba, dan Maluku Utara) menunjukkan, pembawa sifat talasemia alfa berat 3-11 persen dan ringan 11-32 persen berdasarkan hematologinya. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mengembangkan metode diagnostik talasemia alfa di Indonesia.
Gambaran klinis
Dalam artikel "Thalassemia Alfa Mayor dengan Mutasi Non-Delesi Heterozigot Ganda" yang dimuat jurnal Sari Pediatri disebutkan, kelainan delesi lebih sering ditemukan daripada nondelesi.
Berdasarkan jumlah gen yang tidak aktif, ada empat kelompok besar talasemia alfa, yaitu silent carrier (delesi 1 gen), trait talasemia alfa (delesi 2 gen), penyakit HbH (delesi 3 gen), dan talasemia alfa mayor (delesi 4 gen). Pada silent carrier dan trait talasemia, kelainan hemoglobin sangat minimal dan tidak memberikan gejala. Penderita hanya anemia ringan.
Pada penyakit HbH terjadi anemia, terkadang pembesaran hati atau limpa, dan tampak kuning. Biasanya tidak perlu transfusi darah kecuali ada penyakit lain. Delesi 4 gen akan berakibat fatal. Janin tanpa gen globin alfa akan menderita anemia berat, gagal jantung, biasanya mati dalam kandungan.
Dokter spesialis kandungan dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Aria Wibawa, mengatakan, talasemia alfa berdampak pada ibu dan bayi. Dampak pada ibu antara lain hipertensi pada kehamilan, preeklamsia berat, pendarahan obstetri, gagal jantung, persalinan prematur, dan kematian ibu. Komplikasi pada janin antara lain anemia berat atau gagal jantung, penumpukan cairan pada tubuh janin, pembesaran plasenta, dan pertumbuhan janin terhambat.
Deteksi dan penanganan
Aria menambahkan, pendeteksian kasus talasemia alfa sejak janin dapat dengan pengambilan jaringan janin untuk analisis kromosomal, DNA, Hb elektroforesa, dan analisis golongan darah. Dari contoh jaringan didapatkan jenis mutasi dan manifestasi klinis dikenali.
Deteksi bisa juga melihat tanda anemia pada janin, misalnya pembesaran plasenta, pembesaran pada hati dan limpa, penumpukan cairan, pertumbuhan janin terhambat, perubahan jumlah cairan ketuban, perubahan kecepatan arus darah pada pembuluh darah janin, dan perubahan pola denyut jantung. Hal itu tak lepas dari upaya tubuh mencukupi kebutuhan oksigen bagi janin akibat hemoglobin tidak berfungsi normal.
Penanganan talasemia alfa pada masa kehamilan dan persalinan antara lain optimalisasi kadar hemoglobin, optimalisasi nutrisi (seperti asam folat, asam amino, dan kalsium), optimalisasi distribusi darah melalui aktivitas ibu, deteksi dini untuk komplikasi maternal, transfusi intrauteri, yakni sel darah merah donor ditransfusikan ke janin, hingga pembatalan kehamilan.
Penapisan
Kelainan berupa silent carrier kerap tidak disadari calon orangtua lantaran tidak ada gejala sakit. Padahal, mutasi dapat diturunkan. Untuk itu, dianjurkan skrining (penapisan) bagi calon orangtua agar tahu status talasemianya.
Jika orangtua pembawa sifat tetap memutuskan menikah dan punya keturunan harus menyadari risiko anak yang dilahirkan mengalami talasemia alfa.
Saat ini dapat dilakukan diagnostik prenatal untuk mengetahui apakah gen termutasi itu diturunkan kepada janin dalam kandungan dan jenis mutasinya. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menyediakan analisis DNA untuk talasemia bagi janin.