KOMPAS.com - Ini namanya blessing in disguise alias berkah terselubung. Setelah tidak lagi menjabat sebagai Kepala Desa beberapa tahun lalu dan sempat menjadi pengangguran, Rifa'i bertemu dengan Naomi Susilowati Setiono, pemilik Batik Tulis Laseman Maranatha. Rifa'i ditawari untuk belajar membatik agar dapat ikut melestarikan batik lasem. Ketimbang tidak punya penghasilan, Rifa'i menyambut tawaran tersebut. Dan, siapa menyangka kini ia menjadi pengusaha batik yang sukses.
Itulah cikal-bakal keterlibatan Rifa'i, pemilik batik berlabel "Ningrat", dengan dunia batik. Bahkan, sekarang ia menjabat sebagai Ketua Klaster Batik Tulis Lasem yang beranggotakan 60 pengusaha batik di Lasem. Jika awalnya ia membatik di dapur dan halaman rumah orangtuanya di Desa Pohlandak, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, kini ia memiliki workshop sendiri di Desa Sumbergirang, masih di Kecamatan Lasem.
"Awalnya terjun ke dunia batik untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Perlahan semua kebutuhan terpenuhi, dan akhirnya pola pikir saya berubah. Saya ingin membantu perekonomian masyarakat sekitar. Motivasi lainnya adalah untuk mengenalkan Lasem ke dunia lewat batik," tutur Rifa'i, yang baru mulai berbisnis batik pada 2008.
Tentu proses awalnya tidak mudah. Modal bisnis diperolehnya dengan berutang dari sana-sini. Pertama kali ia bahkan hanya membeli selembar kain batik, lalu dijual dengan menitipkannya pada tetangga. Rifa'i juga belajar membatik dari nol, dan kelak justru sangat terbantu oleh kehadiran para pegawainya yang lebih dulu memiliki latar belakang pembatik dan sudah pernah bekerja pada pengusaha batik lain.
Namun statusnya sebagai mantan kepala desa cukup membantunya dalam menembus birokrasi, saat berusaha menawarkan koleksi batiknya melalui jalur distribusi UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Keberhasilannya sebagai pengusaha batik baru juga didukung dengan karakter batiknya yang berbeda dari batik merek lain.
"Karakter warna batik saya saat itu lebih kuat, lebih gonjreng. Kedua, saya mempertahankan sisi cantingan atau goresannya, jangan sampai tidak punya nilai seni. Kalau jelek, tipis, atau kurang tebal, saya yang mengarahkan. Batik itu harus punya seni," paparnya, dalam bincang-bincang bersama media, dalam rangkaian acara "Enchanting IndOriental Beauty Journey" yang digelar oleh Martha Tilaar Group di Semarang, Jumat (7/12/2012) lalu.
Koleksi Batik Ningrat, seperti juga batik laseman pada umumnya, banyak menampilkan motif burung hong, bunga peony, teratai, watu pecah atau watu krecak, dan liong. Ada pula ornamen kawung, gunung ringgit, dan parangan yang juga terdapat di daerah lain. Salah satu kreasi Batik Ningrat, yang menggunakan motif Tiga Negeri, masuk dalam daftar 10 besar Lomba Cipta Seni Batik Nusantara.
Batik Lasem Tiga Negeri ini menampilkan perpaduan budaya China dan budaya Jawa, yaitu motif burung hong dan bunga peony (China), dengan ornamen isian sekar jagad. Sesuai prinsip, Batik Tiga Negeri ini menggunakan tiga warna yang berbeda, yaitu merah, biru, dan soga (kecoklatan).
Sebagai pembatik, terutama setelah batik diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Indonesia Non Bendawi, Rifa'i mengakui amat terbantu dengan dukungan Pemerintah Kabupaten maupun Provinsi. Saat menjadi pemula pada 2008, ia juga mendapat bantuan modal dari Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, termasuk bantuan peralatan.
"Termasuk IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah), ini juga bantuan dari pusat," katanya. IPAL dipasang di workshop-nya agar limbah produksi batiknya tidak merusak lingkungan sekitar.
Belum ingin pameran ke luar negeri
Rifa'i, yang kini memiliki 50 pembatik yang bekerja sebagai tenaga harian, dalam sebulan mampu memproduksi 2.000 - 3.000 lembar kain batik tulis. Hingga sekarang ia belum berniat memproduksi batik cap atau batik print. Meski begitu, koleksi Batik Ningrat menawarkan harga yang cukup bervariasi, dari Rp 100.000 hingga Rp 3 juta untuk batik satu warna.
"Sebenarnya tidak ada standarisasi harga untuk batik tulis, karena yang dijual adalah karya seni. Yang membedakan harganya terutama bahan, yang kedua goresan atau cantingan, lalu pewarnaan," papar bapak tiga anak ini.
Menurut Rifai, kapasitas produknya sebenarnya belum sejalan dengan permintaan pasar. Bahkan ia mengaku belum berani jika diminta mengikuti pameran tingkat nasional. Padahal, Batik Ningrat saat ini sudah melayani permintaan pelanggan dari Jawa, Kalimantan, Sumatera, Bali, dan Sulawesi. Sedangkan permintaan dari luar negeri biasanya diperoleh melalui pihak kedua atau ketiga.
"Karena saya pemula, saya belum berani keluar. Sebelum karya saya betul-betul dikenal, saya belum mau keluar. Kalau sudah berani keluar kita harus punya karakter, ciri khas, sehingga kalau orang beli Batik Ningrat, mereka tahu itu karya saya," ungkap Rifa'i, yang kerap memberi masukan untuk pelanggan yang ingin memilih-milih batik yang cocok.
Workshop-nya di Desa Sumbergirang kerap dikunjungi para tamu dari dalam dan luar negeri yang ingin mengetahui proses pembuatan batik, dan tentu saja berbelanja. Tempat ini dipilihnya karena selain lebih luas, akses jalannya juga lebih mudah. Lokasinya pun hanya berjarak 200 meter dari warung lontong tuyuhan khas Lasem. Dengan demikian, Rifa'i juga bisa menggiring para tamunya untuk mencoba wisata kuliner di Lasem.
"Alhamdulilah, meskipun baru satu tahun di sini, apa yang jadi angan-angan saya sudah terealisasi. Kapasitas produksi saya bertambah, omzet juga bertambah," katanya sumringah.
Editor :
Dini