KOMPAS.com - Saat mendengar salah satu teman dekat baru saja bercerai dari suaminya, kita pasti sangat ingin memberi dukungan moral. Sayangnya, saat ingin mewujudkannya kita malah jadi membuat teman itu tersinggung dengan komentar-komentar yang terlontar dari mulut kita. Misalnya, maksud hati mengungkapkan betapa cemasnya kita terhadap teman tersebut, yang terujar malah, "Lalu nanti anak-anak sekolah siapa yang bayar? Kamu kan tidak pernah bekerja?".
"Kehadiran seorang teman terkadang disertai dengan niat yang mulia, tapi rasa takut dan perasaan yang ada di dalam dirinya sendiri terkadang malah bisa membuatnya mengeluarkan kalimat-kalimat yang tidak semestinya," kata Monique Honaman, penulis buku The High Road Has Less Traffic: Honest Advice on the Path Through Love and Divorce.
Inilah beberapa hal yang sebaiknya tidak diucapkan pada teman yang baru bercerai, plus kata-kata yang sebaiknya kita utarakan.
"Akhirnya cerai juga!"
Kalimat ini biasa disertai tambahan, "Dari dulu aku memang tidak pernah suka pada mantan suamimu itu". Menurut terapis pernikahan Lisa Rene Reynolds, PhD, kalimat ini berkesan pesimis dan bahkan bisa dianggap merendahkan kehidupan pernikahan teman Anda selama ini. Si teman bisa berpikir, kalau tidak suka, kenapa tidak pernah bilang?
"Akhirnya, teman baik Anda akan menganggap Anda tidak pernah memercayai keputusan yang dia ambil," kata penulis Parenting Through Divorce: Helping Your Kids Thrive During and After the Split ini. "Lebih baik katakan bahwa Anda akan selalu ada untuknya dan akan mendukungnya. Selanjutnya, pastikan segala hal selalu berfokus pada dirinya, bukan diri Anda maupun perasaan Anda," tambah Reynolds.
"Aduh, padahal dia kelihatannya orang baik, ya."
Kalimat seperti ini, atau juga kalimat "Kasihan juga ya, mantan suamimu itu", bisa membuat teman jadi berpikir-pikir. Sebenarnya kita ada di pihak dia atau mantan suaminya? Yang perlu diingat, meskipun teman kita dan suaminya ini dulu terlihat bak pasangan sempurna, dan sang suami juga terkesan pasangan yang hebat, sesungguhnya kita tidak pernah tahu seperti apa sebenarnya pernikahan mereka. Jadi, kalau memang kita merasa kasihan atau bersimpati pada mantan suaminya, jangan ungkapkan. Lebih baik bilang, "Aku ikut sedih mendengar apa yang terjadi pada kalian berdua", sambil tetap berfokus pada teman kita.
"Sebenarnya boleh saja bila ingin bersimpati atau suportif pada si mantan suami, terutama jika Anda dekat dengan keduanya. Tapi akan lebih baik jika Anda mengungkapkannya secara terpisah dan tetap berusaha netral," saran Reynolds.
"Memang tidak ada jalan lain? Tidak bisa diusahakan lagi?"
Kalimat ini menyiratkan bahwa kita, sebagai teman yang ia percaya, menganggapnya kurang berusaha keras dalam memertahankan pernikahannya. "Komentar ini bisa dibilang berkesan menghakimi seseorang," kata Honaman. Apalagi jika kemudian kita membandingkan dengan diri sendiri, mengatakan bahwa "Kalau aku, ya, jangan sampai bercerai, deh!" Itu adalah hidupnya, bukan hidup kita.
"Bagaimana kalau sebenarnya dia tidak mau bercerai, tapi dia mengalami kekerasan domestik sehingga perceraian adalah pilihan yang perlu dia ambil?" kata Honaman. "Banyak orang sering mengeluarkan perkataan di atas karena mereka sendiri merasa takut suatu hari nanti akan mengalami perceraian. Jadi, hal yang paling tepat Anda lakukan sebenarnya adalah menekan rasa takut pribadi ini dalam-dalam dan tidak mengatakan apa pun pada teman Anda," tambahnya.
"Lantas, nanti bagaimana kau mengurus keluargamu? Anak-anak bagaimana?"
Berawal dari bayangan betapa teman kita akan menjadi orangtua tunggal yang harus mengurus anak-anaknya sendiri sambil tetap bekerja, atau kekhawatiran karena teman kita selama ini tidak bekerja dan kini harus berjuang menghidupi anak-anaknya setelah perceraian, tercetuslah kalimat di atas.
Menurut Reynolds, kalimat ini seolah menyatakan bahwa teman kita tidak akan mampu melaluinya. "Padahal, teman Anda kemungkinan besar sudah punya rasa kekhawatiran yang sama. Jadi, jangan sampai Anda malah menambah-nambah kecemasannya," imbuhnya.
Sementara Honaman mengajak Anda untuk berusaha menjadi teman yang menawarkan solusi. Misalnya dengan menawarkan bantuan untuk menjaga anak-anaknya sementara dia mencari pekerjaan, atau memberi referensi lowongan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi daripada yang diterima sekarang agar dia bisa menghidupi anak-anaknya.
"Untung kamu belum punya anak!"
"Meski Anda sudah berusaha untuk menarik hikmah positif dari situasi buruk yang dihadapi, yang terjadi malah bisa sebaliknya," kata Honaman.
Ada dua alasan mengapa ini bisa menyakiti hati teman kita, lanjut Honaman. Pertama, yang namanya perceraian itu sudah pasti menyedihkan, dengan atau tanpa kehadiran anak. Kedua, kata-kata ini bisa saja membuka luka hati lainnya. Bagaimana kalau sebenarnya teman kita sangat ingin punya anak dan keinginan ini ternyata belum terwujud hingga akhirnya pernikahannya berakhir? Jadi, lebih baik kita tahan mulut saja, deh.
Sumber: Womans Day
Editor :
Dini