Jakarta, Kompas - Dalam lima tahun terakhir, jumlah remaja usia 15-19 tahun yang melahirkan melonjak 37 persen. Tak hanya membuat upaya pengendalian penduduk makin sulit, hal ini juga membuat remaja putri kehilangan kesempatan untuk tumbuh kembang dengan baik.
Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Sudibyo Alimoeso di Jakarta, Selasa (8/1), mengatakan, jumlah remaja putri yang melahirkan pada 2007 hanya 35 per 1.000 remaja putri. Namun, pada 2012, jumlahnya 48 per 1.000 remaja putri.
"Target pemerintah, jumlah remaja putri yang melahirkan 30 per 1.000 remaja putri pada 2014," ujarnya. Remaja yang melahirkan sebagian besar ada di pedesaan, 69 per 1.000 remaja putri. Di perkotaan, 32 per 1.000 remaja putri.
Pemerintah pada 1991-2007 berhasil menekan jumlah remaja melahirkan dan mencapai jumlah terendah pada 2007. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 yang menunjukkan peningkatan jumlah remaja melahirkan itu menandakan ada yang salah dalam pengelolaan remaja.
"Paradigma pengelolaan remaja sejak dulu tidak berubah, remaja dianggap sebagai anak-anak meski mereka sudah berperilaku seksual aktif sejak menstruasi atau mimpi basah pertama," kata Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta Budi Wahyuni, secara terpisah.
Perilaku seks aktif remaja bisa membuat mereka hamil dan menghamili, melahirkan, hingga melakukan pelecehan dan kekerasan seksual. Namun, remaja tak dibentengi dengan ilmu kesehatan reproduksi dan seksualitas yang memadai karena dianggap tabu dan mendorong seks bebas.
Pentingnya pengajaran kesehatan reproduksi dan seksualitas diakui Sudibyo. Secara teoretis, remaja yang punya pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksualitas akan lebih mampu mengontrol aktivitas seksnya. "Pola pikir masyarakat terkait pendidikan seks pada remaja perlu diubah," katanya.
Risiko
Melahirkan pada usia remaja memiliki risiko kesehatan dan psikologi besar. Menurut Budi, organ reproduksi remaja belum siap untuk hamil dan melahirkan. Ini akan meningkatkan risiko kematian saat melahirkan.
Penyebab kematian ibu melahirkan umumnya karena melahirkan terlalu muda (di bawah 20 tahun), terlalu rapat jarak antar-kelahiran, terlalu sering melahirkan, dan terlalu tua (di atas 35 tahun).
Selain itu, remaja umumnya juga belum siap menjadi ibu, khususnya untuk tugas-tugas yang tidak dapat diwakilkan, seperti menyusui. Tidak adanya persiapan cukup untuk menjadi ibu membuat mereka tidak memiliki pengetahuan memadai guna merawat dan mendidik anak.
Secara ekonomi, ibu-ibu remaja masih bergantung kepada orangtua. Mereka juga sulit bergaul dengan ibu-ibu dewasa. "Itu membuat mereka tak percaya diri menjadi ibu," katanya.
Remaja melahirkan, kata Budi, bisa disebabkan karena hamil di luar nikah, dipaksa menikah oleh orangtua, atau korban gaya hidup menikah muda dan punya anak banyak, seperti yang dipertontonkan sejumlah selebritas di tayangan info hiburan (infotainment). "Remaja tak punya kekuatan untuk berkata tidak atas hal-hal yang membuatnya melahirkan terlalu dini," katanya.
Sudibyo menambahkan, dari aspek kependudukan, besarnya jumlah remaja melahirkan akan memperpanjang usia subur hingga meningkatkan potensi hamil dan punya anak banyak. Ini akan meningkatkan laju pertumbuhan penduduk hingga jumlah penduduk akan semakin besar.
Pada saat bersamaan, jumlah rata-rata anak yang dimiliki keluarga Indonesia pada 2003-2012 stagnan di 2,6 anak per keluarga. Paradigma masyarakat tentang jumlah anak yang diinginkan belum berubah. Rata-rata jumlah anak yang diinginkan pada 2012 2,65 anak per keluarga.
"Besarnya jumlah penduduk akan memengaruhi seluruh aspek pembangunan, memperberat beban negara untuk mengatasi kemiskinan," kata mantan Pelaksana Tugas Kepala BKKBN Subagyo. (MZW)