KOMPAS.com - Kelahiran bayi dengan kerancuan jenis kelamin semakin sering ditemui. Orangtua biasanya bingung bagaimana menentukan jenis kelamin yang tepat untuk anaknya. Padahal, dengan pemeriksaan yang lengkap sejak proses persalinan, dilema penentuan jenis kelamin tak perlu terjadi.
Kasus terbaru dalam ketidakjelasan jenis kelamin terjadi di Bogor. Seorang anak peremuan, ATP (6) telah diganti kelaminnya menjadi laki-laki melalui operasi kelamin di RSCM Jakarta atas permintaan kedua orangtuanya. Saat ini orangtuanya tengah meminta keabsahan pergantian kelamin tersebut secara hukum di Pengadilan Negeri Cibinong, Kabupaten Bogor (Warta Kota/8/1/13).
Menurut Kepala Bagian Andrologi dan Seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof.dr.Wimpie Pangkahila, Sp.And, dalam dunia medis dikenal dua jenis kelamin ganda, yakni hermaprodit atau benar-benar memiliki dua jenis kelamin, serta pseudohermaprodit atau setengah-setengah.
"Yang paling sering terjadi yang pseudo. Misalnya ada penis tetapi kecil dan jika di-USG terdapat indung telurnya. Atau di kelaminnya mirip klitoris tetapi memiliki testis," katanya saat dihubungi Kompas.com.
Ia menambahkan, untuk menentukan jenis kelamin anak yang paling tepat perlu dilakukan pemeriksaan yang lengkap. Pemeriksaannya meliputi fisik, misalnya dilihat apakah ada testisnya atau tidak. Atau, apabila organ genitalnya mirip vagina harus dicek juga apakah anak tersebut mempunyai rahim dan indung telur.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah pemeriksaan kromosom untuk mengetahui apakah anak tersebut memiliki gen perempuan atau laki-laki.
"Kalau seluruh pemeriksaan sudah lengkap dan berani memutuskan boleh saja melakukan operasi untuk mengganti kelamin anak sesuai kecenderungannya," kata spesialis yang menjadi Ketua Umum Asosiasi Seksologi Indonesia (ASI) ini.
Kerancuan jenis kelamin bisa diatasi dengan tindakan operasi, misalnya untuk memperbaiki letak uretha di depan penis sehingga bayi laki-laki bisa buang air kecil lewat ujung penis. Menurut situs kesehatan WebMD, tindakan ini dapat dilakukan sebelum bayi berusia satu tahun.
Pada kasus ATP, Wimpie menilai anak tersebut masih terlalu kecil. "Pada usia sedini itu anak belum bisa mengomunikasikan dengan baik perasaannya dan belum mampu mengevaluasi dirinya sendiri," katanya.