KOMPAS.com - Kreativitas jelas merupakan tuntutan bagi pekerja seni, seperti artis, penyanyi, pemusik, atau pelukis. Kita tahu, income mereka yang sukses di bidang seni seperti ini banyak. Seorang pelukis bisa membuat galeri dari sekadar menjual 1-2 lukisan saja. Seorang penyanyi bisa menghasilkan banyak uang dalam sekali bernyanyi. Bukan main!
Namun, berapa persentase seniman yang sukses ini? Bukankah lebih banyak seniman "tanggung" tanpa apresiasi pelanggan? Hal ini menjadikan banyak alumni pendidikan seni sendiri yang kemudian merasa bahwa berkreativitas, berinovasi itu tidak "make money".
Benarkah kreativitas tidak memiliki nilai moneter? Kita tahu dunia bisnis masih kerap melihat kreativitas sebagai kemewahan dan "arena buang buang duit" saja. Kalau bukan pemborosan, ada yang beranggapan bahwa kreativitas atau inovasi adalah bagian orang-orang yang tidak serius dan berdisiplin: "Area GenY!", kata seorang CEO. Ada juga yang menyebut: "Industri kami adalah industri yang serius, kita bukan memproduksi 'rock star'".
Paradigma inilah yang sering menyebabkan banyak orang tidak meyakini bahwa kreativitas perlu mendapat tempat terdepan dalam pencarian solusi terhadap permasalahan di tempat kerja.
Bila kita berpikir bahwa kreativitas hanya salah satu feature dalam kegiatan pikir kita, kita perlu membuka mata lebih lebar. Mekanik mobil harus menemukan cara mendeteksi kerusakan mesin, yang tidak dipelajari dengan sistem problem solving di sekolah. CEO yang terkenal kekuatannya dalam mengotak-atik angka keuangan, pada saatnya perlu menggunakan kreativitasnya untuk memahami problem yang kompleks. Jelas bahwa kreativitas ada di dalam setiap situasi.
Kita perlu meyakini betapa bisnis tidak bisa berjalan tanpa berkreativitas. Kita bisa menyaksikan perusahaan bermodal besar, bisa tiba-tiba menjadi "gajah bengkak" karena tidak kreatif. Mindset tidak mementingkan kreativitas sungguh melahirkan mental "tidak bisa" yang membunuh.
Perusahaan seperti GE, yang demikian sukses di abad ke-20 lalu, sekarang pun berkiprah ke kepedulian lingkungan dan inovasi ecomagination, serta masih harus membuktikan apakah mereka akan mencetak laba dan membuat perusahaannya bisa se-sexy Apple. Fenomena ini membuktikan bahwa kreativitas dan inovasi tidak bisa berbentuk "lipservice", basa-basi, atau setengah-setengah..
Bila kita masih meragukan bahwa kreativitas tidak mempunyai nilai moneter, mari simak kisah Peter Thiel. Dengan kesungguhan hati, beliau meninggalkan dunia advokat dan menciptakan PayPal. Apa modalnya? Pemikiran matang yang dielaborasi dan dituntaskan. Hasilnya, Thiel sekarang menjadi pemegang saham terbesar dari perusahaan bergengsi lain seperti Facebook. Ia pun kini mengerjakan hal yang diimpikannya, yaitu menjadi dosen di Stanford dengan mata kuliah creative economy.
Kreativitas sebagai kunci sukses finansial juga sudah dibuktikan oleh Cirque du Soleil, yang mengubah sirkus binatang yang hampir mati, menjadi ajang show musikal dan tari manusia berbakat. Strateginya adalah memasukkan sedikit bumbu imajinasi dalam rumus strategi kita. Jadi, pertanyaannya sekarang adalah: apa upaya yang harus kita lakukan dalam perusahaan agar manusianya termotivasi untuk senantiasa melakukan perbaikan produk, membaca pelanggan, bahkan membuat terobosan baru.
Semua orang harus kreatif
Kita sering menyaksikan perusahaan mengunggulkan peran salesman dan frontliner, karena merekalah orang yang bertemu pelanggan. Ada juga perusahaan yang membayar mahal para ahli keuangannya karena berpikir bahwa merekalah yang bisa mengotak-atik "cashflow" dan mengefisienkan perusahaan, sehingga bisa mencetak laba lebih banyak.
Kita tidak menyadari betapa begitu kita meng-utama-kan segelintir orang di perusahaan, maka matilah kreativitas yang lain. Individu merasa tidak perlu berinovasi. "Sudah ada ahlinya", kata mereka. Padahal, ekonomi kreatif yang didengungkan David Brooks, hanya bisa terjadi bila semua orang merasakan urgensi yang sama untuk senantiasa berubah, menawarkan value baru ke pelanggan dan men-deliver-nya sesegera mungkin.
Para manajer dan supervisor sebetulnya perlu membiasakan diri untuk mendisiplinkan kreativitas. Walaupun sulit dan tidak teraga, kreativitas bisa di-manage. Di sebuah perusahaan yang yakin akan inovasi, disebarkan spirit "can do", yaitu tidak ada kata "tidak bisa". Mereka juga menumbuhkan keyakinan bahwa kesalahan adalah cara merangsang inovasi. Tanpa susah-susah, perusahaan ini sudah memotivasi seluruh karyawan untuk berkreasi.
Masih banyak cara yang bisa kita gunakan agar berinovasi dianggap setiap orang sesuatu yang fun dan menantang, tetapi juga keharusan. Kita bisa menggalakkan brainstorming sebelum mengambil keputusan. Kita pun bisa menggalakkan "wholebrain thinking" dengan menukar problem solver yang tidak sesuai bidangnya, misalnya akuntan diminta memecahkan masalah pemasaran atau sebaliknya.
Mengolah sesuatu dengan berbeda
Pada tahun 2005, W. Chan Kim dan Renee Mauborgne sudah memaparkan usulan agar kita tidak mati-matian berebut pasar yang serupa dengan kompetitor, misalnya dengan banting harga atau menjelek-jelekkan kompetitor kita. Hal yang bisa kita lakukan adalah mencari "Blue Ocean", yaitu ajang kreativitas, di mana kita berani tampil beda, sehingga tidak perlu berkompetisi berdarah-darah.
Inilah yang dilakukan Steve Jobs sejak lama. Ia menjual musik melalui i-Tunes, membuat telepon 3 in 1, dan membuat komputer 4 in 1. Semua ini memang sekadar keperluan sehari-hari kita, tetapi pengolahannya yang membuat ia beda, sehingga nilai tambah pun muncul. Buah pemikiran itu kemudian menjadi sangat bernilai dan pada akhirnya mencetak keuntungan material yang luar biasa. Di sinilah bedanya menghadapi kesulitan, perang kompetisi dengan berpikir keras untuk mendapatkan peluang.
Riset menunjukkan betapa kreativitas adalah ketrampilan yang diasah dan dikembangkan, bukan dimiliki sejak lahir. Semakin sering kita melakukan benchmark, mengembangkan minat pada bidang lain di luar bidang keahlian kita, berdiskusi dengan individu dari keahlian yang berbeda, semakin tajam kita saat membedah permasalahan kerja kita dengan sudut pandang baru.
Penelitian bahkan mengatakan, bahwa karyawan yang aktif bersosial media, punya kecenderungan lebih kreatif daripada yang tidak. Kita bisa melihat betapa mengasah kreativitas bahkan bisa mengembangkan kualitas kehidupan kita secara menyeluruh, yang ujung-ujungnya akan memberi kontribusi pada kemajuan bisnis, juga masyarakat. Ya, kreativitas tidak boleh dikebelakangkan. Kita sudah tidak punya pilihan: delight or die.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini