KOMPAS.com - Meski sudah hampir lima tahun mengolah kain tenun untuk koleksi busananya, desainer Auguste Soesastro masih takut untuk bermain-main dengan kain tenun. Terutama kain tenun sutra yang dikerjakan sangat detail, dijahit satu-satu perbagiannya.
"Saya dulu pernah belajar tenun di Australia, jadi ketika tahu dapat bahan yang sangat bagus, dijahit satu-satu dengan tanpa benang yang mengambang di bagian belakangnya, saya jadi ekstra hati-hati," ujarnya saat ditemui Kompas Female di Galeri Cita Tenun Indonesia, di Jakarta Selatan, Selasa (9/4/2013).
Sangat khas dan uniknya kain tenun bali yang diterima membuat Auguste menjadikan koleksi itu sebagai barang berharga. Katanya, dari kain yang hampir enam juta rupiah harganya, terbayang bagaimana menjadikannya sebuah baju.
Buat Auguste, tenun bali ada yang sudah di tingkat lanjut pembuatannya. Oleh karena itu, penjahitannya pun mengkhawatirkan. Bagian kiri dan kanan berpotensi tidak sama.
"Dan kalau saya yang gunting, maka harga pembuatannya juga ikut naik dong," ujar desainer yang pernah ikut magang di beberapa rumah mode adibusana di Paris ini sembari tersenyum.
Auguste sudah menuntaskan 10 koleksi kain tenun yang akan ia pamerkan di ajang Trend Report Fall/Winter 2013/2014 di New York pada 15 April nanti. Ini menjadi kolaborasi keduanya bersama Cita Tenun Indonesia (CTI), setelah yang pertama tahun 2011 dan ditampilkan di Intercontinental Hotel, London.
Debut penampilan karya tenun Auguste sendiri dilakukan di ajang Asia Society New York, New York Fashion Week 2009. Saat itu ia sudah setahun meluncurkan lini pertamanya, Kraton, di New York, yaitu sejak 2008.
"Kalau dulu saya gunakan tenun dengan warna dekat tone on tone, yang sekarang warna kontras, dan orang sana mungkin bisa jadikan sebagai koleksi," ujar perancang lulusan Chambre Syndicale de la Couture, Paris, ini.
Dengan pengalaman hampir lima tahun mengolah kain tenun, Auguste sudah hafal benar karakteristik yang disukai oleh publik asing, khususnya New York. Kata dia, orang di kawasan pantai timur Amerika tersebut tidak begitu suka yang berwarna terlalu terang atau ngejreng.
"Saya berencana nanti juga tidak sekadar peragaan, tapi juga memberikan pemahaman pada mereka, bahwa ini bukan sekadar kain, tapi mengalami proses pengerjaan yang lama dan butuh waktu," ujar dia.
Dengan pemahaman itu maka ia mengharapkan apresiasi yang besar terhadap kain tenun. Satu busana bisa jadi sangat spesial, dan kalau pun dibuat yang mirip tak akan menjadi sepenuhnya serupa.
"Bisa dibilang ini adalah koleksi yang paling warna-warni dari koleksi saya, dan ini tidak untuk semua orang, hanya mereka yang mungkin punya apresiasi seni lebih tinggi," katanya.
Editor :
Dini