KOMPAS.com - Sepertinya dunia kerja bagi perempuan kembali ke era 1950-an lagi. Pada era tersebut, pekerjaan paling umum dan diminati adalah sekretaris. Waktu itu wajar adanya karena jenis pekerjaan yang tersedia masih terbatas untuk kaum perempuan. Makanya tidak heran kalau menjadi sekretaris demikian populer.
Tetapi siapa mengira, tahun ini pekerjaan paling umum dan banyak dijalani perempuan juga "masih" sekretaris. Ini di luar fakta bahwa jumlah perempuan yang mendapat gelar sarjana lebih banyak daripada pria, dan sebagain besar dari mereka telah memulai bisnis sendiri. Diperkirakan, lebih dari empat juta sekretaris dan asisten administrasi di AS sepanjang tahun 2006-2010, 96 persennya adalah perempuan. Ini berdasarkan data sensus AS terbaru (sensus dilakukan per 10 tahun).
Menurut data yang dirilis oleh Departemen Tenaga Kerja AS pada pertengahan Februari lalu itu, pertumbuhan ekonomi turut membuat jumlah pekerjaan meningkat sebanyak 157 ribu-an. Dari laporan provider ADP, jenis pekerjaan tersebut berasal dari sektor jasa, seperti penjaga rumah, guru, retail sales, perawat, dan pekerja restoran, yang semuanya didominasi oleh perempuan, diikuti kemudian dengan peningkatan jumlah di bisnis jasa lainnya termasuk posisi administrasi.
Dengan banyaknya jenis pekerjaan yang terbuka, kenapa kemudian sekretaris masih menjadi urutan pertama?
"Dalam menentukan kariernya, kaum perempuan masih mendapatkan masukan bahwa cara terbaik untuk masuk dunia kerja adalah lewat posisi administrasi," ungkap Danna Greenberg, Associate Professor Organizational Behavior di Babson College, Boston. Hal tersebut jauh berbeda jika dibandingkan dengan lulusan sarjana pria yang tidak pernah disarankan untuk meraih posisi administrasi.
Sejumlah data dan laporan juga menunjukkan bahwa perempuan tidak jauh-jauh transisinya dari pekerjaan di bidang administrasi. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir pakar dunia kerja sudah mengemukakan bahwa sekretaris akan menjadi pekerjaan yang sudah usang atau kuno, data pemerintah justru menunjukkan hal berbeda. Pada tahun 2012 justru terjadi peningkatan jumlah sekretaris dan administrasi sebanyak 12 persen.
"Setiap kali ada teknologi baru muncul, selalu ada prediksi bahwa inilah akhir dari dunia sekretaris, namun ternyata tidak," ujar Ray Weikal, mantan sekretaris dan juga juru bicara International Association of Administrative Professionals.
Pengembangan mesin tik menjadi komputer, serta pemanfaatan internet, bagaimanapun juga membutuhkan orang yang menjalankannya. Dan orang yang dianggap tepat untuk mengoperasikannya adalah perempuan.
Uang dan tingkat pendidikan sepertinya juga tidak menjadi faktor penentu, karena sejumlah pekerjaan yang didominasi pria seperti sopir truk, pekerja pabrik ataupun konstruksi mendapat bayaran atau honor yang sama dengan pekerjaan sekretaris. Sebagai tambahan, pria biasanya tidak mau menjalani dunia kerja sekretaris yang sudah jadi tradisi pekerjaan yang dilakoni oleh perempuan.
Pada tahun 1950, pekerjaan paling banyak diminati perempuan di luar sekretaris adalah teller bank, penjaga tiket, penjaga rumah (seperti memasak atau perawat), dan guru. Setelah 60 tahun berlalu, ternyata hal tersebut tidak banyak berubah. Selain sekretaris, jenis pekerjaan yang masih menempati urutan teratas bagi kaum perempuan adalah kasir, guru SD atau SMP, dan perawat.
"Jenis pekerjaan itu sepertinya sudah menempel sebagai tradisi perempuan," ungkap Dominique Gomez dalam laporan Christian Science Monitor tahun lalu.
Jika pun ada pekerjaan "perempuan" yang dilakoni oleh kaum pria, masyarakat kemudian menciptakan sendiri sebutannya, seperti male nurse atau male nanny, yang kemudian disebut murse atau manny. Sementara polisi, anggota kongres, dan pimpinan perusahaan meminggirkan imej perempuan, sehingga terjadi bias bahwa pekerjaan atau jabatan tersebut merupakan profesi yang tidak bisa dijalani oleh kaum perempuan.
Amy Richards, salah seorang penulis buku Mainfesta: Young Women, Feminism, and the Future, mengungkapkan bahwa pada tahun '60-an perempuan tidak diberi kesempatan untuk meningkatkan kariernya. Hal ini menjadi salah satu hambatan yang sangat besar bagi perempuan. Di samping itu, muncul pemikiran di kalangan kaum perempuan sendiri untuk lebih menghargai kehidupan keluarga daripada memikirkan pekerjaan. Mereka bekerja untuk hidup, bukan untuk meraih karier tertentu.
Kebutuhan akan keseimbangan hidup dan bekerja ini kemudian menjadi faktor pendorong memilih bekerja di bidang administrasi saja, bukan dalam hirarki manajemen. Oleh karena itu juga sebagian besar dari mereka tidak berpikir untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Sumber: Shine
Editor :
Dini