KOMPAS.com - The World of Suzie Wong adalah judul novel karya Richard Mason yang terbit tahun 1957. Novel ini mengisahkan tentang perjalanan asmara Robert Lomax, seorang seniman Inggris yang tinggal di Hongkong, dengan seorang perempuan Cina nan jelita Suzie Wong. Tahun 1960, The World of Suzie Wong diangkat ke layar perak oleh Richard Quine. Film ini lekas meledak dan menjadi pergunjingan dunia.
Di salah satu ruang Restoran Kunstkring, di ujung Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, dua poster besar film The World of Suzie Wong terpasang di tembok. Pemiliknya lantas menyebut ruang itu, Lounge & Bar Suzie Wong. Perabot dan interiornya bakal membawa pengunjung ke masa lalu, ke masa tokoh rekaan Suzie Wong hidup di tengah kaum jet set di Hongkong.
Satu sore, hujan lebat turun di sana. Tetapi di Ruang Suzie Wong, suara hujan bak tenggelam oleh keriuhan 12 perempuan jelita. Mereka adalah Georgiana Grae Supit atau Ojie, Ravelra Ruth Supit atau Vella, Alexandra Maria, Ayu Mirah Suardana, Ayu Heni Rosan, Metta Ariesta, Renita Adrian, Novi Gusnick, Lucy Rio Soepardi, Hita Tugus, Ida Ayu Durupati atau Ugek Danny, dan Putri.
"Olla Ramlan, Ashanty, serta dua rekan kami lainnya absen," kata Mirah. Usai menikmati minuman dan makanan ringan, mereka berias, berganti busana -setelan kemeja putih dan celana jins. Berikutnya adalah sesi pemotretan. Pada sesi pemotretan kedua, mereka memakai kebaya encim dan bawahan kain tenun bercorak Nusa Penida, Bali, karya Mirah.
Perempuan berdarah biru itu baru saja mendapat High End Award bersama 22 perempuan Indonesia lainnya. "Ke-23 perempuan tersebut dinilai menginspirasi perempuan Indonesia lainnya," jelas pemilik satu hotel di Bali ini.
Meski hidupnya sudah melimpah, ia tak mau berpangku tangan. Di kampung halamannya, Bali, ia menggerakkan industri kerajinan tenun. Tentu saja yang berkelas adi busana.
Dengan kegiatan tersebut, Mirah ingin hidup kaum perempuan di kampung halamannya -terutama kaum perempuan petani, meningkat secara kultural, ekonomi, dan sosial. "Mimpi saya, satu saat orang Indonesia bangga memakai pakaian tradisionalnya masing-masing -baik di satu hajatan sederhana, maupun di satu hajatan mewah. Baik hajatan di tingkal lokal, sampai internasional," ucapnya.
Mirah berpendapat, sebenarnya bangsa Indonesia menjadi salah satu bangsa tercantik di dunia karena memiliki kekayaan seni dan tradisi yang melimpah. Sayang, masih kurang mampu memasarkan, dan kurang percaya diri terhadap produknya sendiri.
Right Path
Sejak tiga bulan lalu, para perempuan cantik berusia 30-40 tahun itu membentuk kelompok arisan, The Right Path. "Right Path bisa berarti Jalan Benar. Right Path juga bisa berarti Path yang Benar," kata Ojie, salah satu pemuka kelompok ini.
Arti lain path seperti disampaikan Ojie adalah, aplikasi jejaring sosial dalam smarthphone yang memungkinkan penggunanya berbagi gambar dan pesan. Pengguna Path berbeda dari jejaring sosial lainnya karena sifatnya yang terbatas. Path bisa digunakan di iPhone, iPad, iPod Touch, dan Android bermacam versi.
Ojie sehari-hari mengerjakan interior desain di kalangan teman dan relasi dekatnya. Tidak demikian dengan adik kandungnya yang jauh lebih sibuk, Vella. Vella adalah salah seorang eksekutif pemasaran Club 21 Internasional yang memasarkan produk Armani, Dolce and Gabbana, Calvin Klein, dan sejumlah produk perempuan papan atas lainnya.
Selain kakak-beradik Ojie-Vella di The Right Path, ada lagi pasangan kakak-beradik lainnya -Mirah dan Ayu Heni. Ayu Heni memiliki sejumlah salon, klinik, dan hotel di Jakarta dan Bali. Ugek pun memiliki usaha yang sama-hotel dan vila di Bali.
Sebagian besar anggota Right Path memang para eksekutif usaha properti -hotel, apartemen, town house, dan vila. Sebagian lagi pemilik sejumlah salon kecantikan, produk kecantikan, serta butik.
Apa yang bisa mereka buat lewat arisan? "Menjadi tempat rehat saat kami lelah mental dan psikis. Menjadi arena buat kami berkarya sosial, dan menjadi ajang marketing buat usaha kami," kata Ojie.
"Buat perempuan Asia, sukses karier itu tidak membuatnya lupa akan peran gandanya. Saat kami lelah karena peran ganda kami, arisan menjadi tempat rehat kami," lanjut Renita, salah seorang eksekutif Imperium Bisnis Djarum. "Kalau sedang lelah karena urusan rumah tangga, kami berbagi dan mendapatkan solusi di arisan," ujar Lucy, pemilik sejumlah butik.
"Perempuan itu kan semakin tua semakin cerewet, kebalikan dengan kaum pria yang makin tua semakin pendiam. Nah, di arisan inilah kami meledakkan kecerewetan kami, biar rumah tak terlalu berisik lagi," ungkap Mirah disambut derai tawa teman-temannya.
Arisan juga menjadi tempat berkarya sosial mereka. "Setiap kami arisan, kami menyisihkan 10 persen uang arisan untuk kegiatan sosial," ucap Ojie. Kegiatan sosial dipusatkan pada pendidikan anak-anak jalanan, serta anak-anak miskin yang sedang sakit keras.
Agar tidak salah sasaran terhadap target yang akan dibantu, setiap anggota blusukan menemui target. "Ada teman yang senang blusukan mengamati gedung-gedung sekolah yang rusak, ada teman yang senang keluar masuk rumah sakit, ada teman yang suka menemui anak-anak jalanan. Hasilnya, kami telah merenovasi beberapa sekolah pemulung di Bintaro, di sekitar Kelapa Gading, serta di beberapa lokasi lain di pinggiran Jakarta. Kawan-kawan yang bergerak di bidang usaha semen dan properti biasanya yang kroyokan memperbaiki atap, konstruksi bangunan, dan tembok sekolah," papar Ojie.
Terakhir, kata Mirah, mereka memberi sumbangan darurat kepada seorang anak dari keluarga kurang mampu yang menderita anemia. Sumbangan darurat ini diikuti sumbangan biaya perawatan anak tersebut. "Kami juga memberi bantuan rutin makanan untuk anak-anak jalanan, serta pengelolaan sekolah akhir pekan, buat mereka," lanjut Mirah.
Buat The Right Path, arisan juga menjadi ajang pemasaran yang efektif. "Memasarkan produk properti lewat agen-agen pemasaran resmi, prosesnya sering lama, jumlah pertanyaan yang disampaikan, banyak. Repot. Lebih cepat dan praktis lewat arisan ini," ucap Metta, pemilik sejumlah produk properti. Hal senada disampaikan Ojie, Mirah dan kawan-kawan The Right Path lainnya.
Menurut Ojie, The Right Path tidak mendadak terbentuk dan muncul. "Sebagian kami adalah para perempuan pecinta bowling puluhan tahun lalu. Kami berpisah setelah kegiatan bowling surut dan masing-masing tenggelam dengan urusan rumah tangga yang kala itu sedang tumbuh," ucap Ojie.
"Nah, sekarang kan rumah tangga kami masing-masing sudah relatif mapan. Anak-anak sudah besar dan memiliki dunia serta kesibukannya sendiri. Oleh karena itu kami bisa ngumpul-ngumpul lagi," tambah Mirah.
Meski demikian, ajang kumpul-kumpul ini tidak pernah berlangsung hingga larut malam. "Jangan sampai suami sudah sampai rumah, kami belum tiba. Ada perasaan bersalah jika kami datang belakangan ketimbang suami," tutur Vella.
Ia mengaku, suaminya dan suami Ojie punya kebiasaan yang sama -memeriksa suhu kap mesin mobil yang dipakai istri. "Kalau kap mesin mobil masih hangat, itu artinya kami baru saja sampai rumah," kata Vella diikuti derai tawanya.
Pertemuan nan menyenangkan sore itu, ditutup dengan sajian kaum elit Hindia Belanda di era awal abad 20, rijsttafel (baca reistafel), di ruang makan utama Kunstkring. Ketika sajian keluar dengan sentuhan musik dan tari Betawi, mereka tak bisa menyembunyikan kekagumannya dan bertepuk tangan. Ketika itulah, Ruang The World of Suzie Wong, senyap. (Windoro Adi)
Editor :
Dini