KOMPAS.com - Proses pembuatannya yang rumit membuat batik menjadi produk tradisi yang bernilai tinggi. Untuk mendapatkan warna yang unik, misalnya, kain batik harus melalui tahap pewarnaan yang berulang-ulang. Proses pewarnaan ini bisa dilakukan dengan pewarna kimia maupun pewarna alami.
Sebagai bagian dari upaya pelestarian batik, kini ada gerakan untuk membuat batik dengan teknik yang lebih ramah lingkungan. Hal inilah yang diinisiasi oleh ECONID (Perkumpulan Ekonomi Indonesia-Jerman), yang membuat program guna meningkatkan industri fashion yang ramah lingkungan, yang disebut program Clean Batik Initiative (CBI). Selain mengampanyekan batik yang ramah lingkungan, CBI juga meluncurkan koleksi pertama mereka, Ecobatik Signature.
Menurut Martin Krummeck, Koordinator Program CBI, koleksi Ecobatik Signature merupakan pemaknaan upaya untuk membuka akses pasar bagi batik ramah lingkungan. Program empat tahunan ECONID ini tidak hanya untuk mengedukasi masyarakat agar cinta batik dan lingkungan, tetapi juga mengubah cara kerja para perajin yang sebelumnya memakai bahan kimia menuju proses yang lebih ramah lingkungan.
"Kami mendorong dan mengajak para IKM untuk memproduksi batik ramah lingkungan, dan di saat yang sama kami juga memotivasi para desainer Indonesia untuk memanfaatkannya," tutur Krummeck, saat peluncuran Ecobatik Signature Collection di Tugu Kuntskring Paleis, Menteng, Jakarta, Selasa (11/6/2013) lalu.
Banyak industri batik berproduksi dengan menggunakan lilin, senyawa kimia, dan larutan pemutih secara berkelebihan sehingga membahayakan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Salah satu dampaknya adalah kekeringan di musim kemarau yang kerap memaksa industri batik memenuhi kebutuhan sumber daya airnya dengan energi yang lebih besar lagi. Pada akhirnya, biaya produksi pun membumbung.
Kehadiran Ecobatik ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan penggunaan batik ramah lingkungan, serta mempromosikan batik ramah lingkungan di Indonesia dan mancanegara.
"Melalui program ini saya mendukung perajin batik untuk memproduksi kain yang ramah lingkungan dengan menyumbangkan desain rancangan saya. Upaya ini tidak hanya mendorong mereka untuk melakukan proses daur ulang, tetapi juga membantu bumi agar tetap lestari," ujar perancang Carmanita.
Tak bisa mencolok
Ada 42 rancangan eksklusif kain Ecobatik ini, hasil kerjasama dengan lima desainer ternama Indonesia, seperti Carmanita, Lenny Agustin, Musa Widyatmodjo, Caterina Hapsari, dan Batik Fractal. Setiap helai kain yang digunakan pada koleksi Ecobatik ini dibuat oleh para IKM batik tersertifikasi dari berbagai daerah di Indonesia.
Para desainer yang bergabung dalam program koleksi khusus Ecobatik ini mengaku mengalami kesulitan dalam merepresentasikan ide mereka pada kain batik ini, seperti yang dialami Musa Widyatmodjo dan Lenny Agustin.
"Buat saya mengolah kain batik itu tidak mudah, karena kita harus tahu bagaimana membuat kain itu menjadi menarik dalam menjadi sebuah busana, terutama busana pria," ujar Musa kepada Kompas Female. Musa mengatakan batik yang ia dapatkan adalah bahan berbentuk kain yang sudah jadi, sehingga itulah yang menjadi tantangan baginya dalam menuangkan kreativitas pada Ecobatik tersebut.
Lain dengan Musa, Lenny Agustin yang menggunakan Ecobatik untuk label LENOR merasa memiliki kesulitan dalam warna yang dihasilkan. Karena, selama ini ia dikenal dengan busana rancangannya yang penuh warna-warna mencolok, sementara Ecobatik tidak dapat menampilkan warna-warna tersebut.
"Senang sekali bisa mengenal Ecobatik, pengalaman yang berharga untuk mendapatkan warna-warna natural, meski sulit untuk mendapatkan warna-warna terang kesukaan saya. Tapi ada juga kesulitan lainnya, yaitu tidak bisa dikerjakan dengan cepat karena Ecobatik ini dikerjakan handmade. Jadi memang membutuhkan waktu," papar Lenny.
Editor :
Dini