KOMPAS.com - Di tengah maraknya kasus kekerasan dan kejahatan di masyarakat, pengaruh tayangan di media massa kerap dituding menjadi salah satu penyebab utama. Banyaknya tontonan atau bacaan tentang seksualitas dan kekerasan, dianggap menjadi faktor pemicu terjadinya kasus kejahatan dan kekerasan.
Namun pendapat berbeda diungkapkan psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel. Menurutnya, media massa bukanlah semata faktor pemicu munculnya kekerasan dan kejahatan di masyarakat.
Reza menyatakan, perilaku merupakan hasil dari pembelajaran seseorang. Hasil ini didapat dari apa yang didengar, dilihat, atau dibaca. Selain pengaruh lingkungan sekitar, media memang dapat memberi andil dalam membentuk perilaku seseorang, tetapi bukanlah yang utama.
"Perilaku adalah hasil pembelajaran sosial. Ada banyak faktor yang menentukan bagaimana seseorang bertingkah laku," ujarnya.
Reza merujuk pada kondisi Jepang antara tahun 1970-1980. Meski tidak menunjukkan angka pasti, Reza mengatakan, saat itu kekerasan terhadap wanita menjadi salah satu kasus tertinggi. Alih-alih menghentikan tontonan berbau kekerasan dan seksualitas, pemerintah justru memborbardir masyarakat dengan tayangan dewasa. Hasilnya, angka kekerasan justru menurun.
Menurut Reza, hal ini mengindikasikan apa yang ditonton menjadi kompensasi kepuasan seksual. Akibatnya, seseorang tidak lagi mencari pelampiasan nafsu.
Kendati begitu, lanjutnya, bukan berarti kasus di Jepang akan memberi hasil sama bila diterapkan di tanah air. Hal ini bergantung pada kesiapan mental dan cara berfikir masyarakat, terkait apa yang ditonton dan didengar.
Pemerintah Jepang , kata Reza, dalam hal ini mungkin tepat sasaran karena memberi tontonan kepada masyarakatnya sesuai batasan usia. Untuk kasus di Indonesia, kasus kekerasan juga dapat ditekan apabila media massa menyiarkan tayangan yang tepat sasaran.
Pemerintah, dalam hal ini, harus lebih pandai menyeleksi tayangan sesuai batas usia. Hal ini dikarenakan tidak semua komponen dalam masyarakat siap menerima tontonan, terutama yang kental nuansa kekerasan dan seksual. Akibatnya, tayangan tersebut menstimulasi masyarakat yang tidak siap, untuk melakukan tindak serupa di masyarakat umum.
"Di sini kita bisa berkaca, pendampingan jauh lebih penting dibanding regulasi. Jangan melulu pelarangan," kata Reza.
Melalui pendampingan, orangtua dapat memberitahu anak nilai tontonan atau bacaan yang dilihat. Orangtua dapat mendidik anak mana yang sebaiknya ditiru dan tidak. Kedua nilai diharapkan bisa membentuk perilaku seseorang di masa mendatang.
Pendampingan perlu dilakukan, terutama ketika seseorang masih kanak-kanak dan pra remaja. Menurut Reza, kedua fase ini sangat sensitif pada berbagai nilai di media. Pada fase ini mental masih rapuh, sehingga tidak bisa berfikir aktif pada berbagai nilai di media. Pendampingan yang tepat akan mencegah seseorang menyerap nilai buruk, pada yang dilihat dan ditonton.
"Karena pada dasarnya perilaku adalah hasil bentukan nilai dan contoh yang beredar," kata Reza.