Menghadapi Utang Pasca-Lebaran

KOMPASfemale
KOMPASfemale
Menghadapi Utang Pasca-Lebaran
Sep 14th 2011, 06:19

KOMPAS.com - Apa yang tersisa dari "ritual" mudik?

Tidak sedikit dari pemudik yang malah meninggalkan tumpukan utang yang menunggu untuk dilunasi atau diangsur. Budaya konsumtif tidak saja membuat pengeluaran menjadi berlipat ganda, yang tragisnya tidak mencukupi jika hanya dibiayai dari pendapatan bulanan dan THR.

Pengeluaran yang sangat besar dalam perayaan Lebaran juga sering kali menambah jumlah utang. Ya, sebab, sebagian pengeluaran dibiayai oleh kartu kredit dan utang yang diperoleh dari sejumlah pihak. Konkretnya, selesai Lebaran, utang menumpuk.

Kalau situasinya seperti itu, lantas apa yang mesti dilakukan? Banyak. Misalnya, selama sebulan tidak usah ada pengeluaran apa pun. Kemudian, pendapatan pada bulan selama masa tersebut dipakai untuk melunasi utang. Dalam realitasnya, jelas ini bukan solusi. Akan tetapi, sebenarnya itulah risiko kalau berutang semata-mata untuk kebutuhan konsumtif. Anda mesti menata kembali perhitungan pemasukan dan pengeluaran selama setahun ke depan. Dan, ini sangat bergantung pada seberapa besar utang yang mesti Anda pertanggungjawabkan.

Untuk itu, pahami dulu, jika tidak digunakan untuk kegiatan produktif, utang hanyalah menambah beban hidup. Apalagi jika digunakan hanya untuk aktivitas konsumtif yang bukan kebutuhan, melainkan "keinginan". Tidak ada ampun untuk risiko utang seperti ini. Sebab, secara sengaja Anda telah masuk dalam kategori "lebih besar pasak daripada tiang". Dan, untuk menyeimbangkannya hanya bisa dilakukan dengan cara memperkecil pasak (pengeluaran) atau memperbesar tiang (pendapatan). Sayang, dalam kenyataannya, memperbesar tiang bukan hal mudah. Maka, cara yang paling masuk akal adalah memperkecil pasak. Bagaimana konkretnya?

Menghitung utang Hitung ulang jumlah utang Anda untuk keperluan Lebaran. Hitung kewajiban pengeluaran rutin lain. Totalkan dan bandingkan dengan pendapatan bulanan Anda. Defisit? Sudah pasti. Jika demikian halnya, cek lagi pengeluaran rutin Anda. Mana yang bisa dihentikan. Semestinya ada pengeluaran bulanan yang untuk sementara tidak perlu dilakukan, khususnya terhadap pengeluaran untuk memenuhi keinginan ataupun kebutuhan sekunder atau tersier.

Misalnya, selama ini Anda kerap belanja sandang. Maka, untuk sementara waktu jangan dulu belanja sandang. Toh, ketika Lebaran, sudah cukup banyak Anda membeli pakaian baru. Masalah selesai. Akan tetapi, solusi itu hanya berlaku bagi kalangan yang utangnya tidak besar. Bagaimana jika nilai pengeluaran yang dihentikan tetap tidak mampu menutupi utang? Coba cara berikut.

Hitung kembali jumlah utang Anda, bandingkan dengan pendapatan Anda. Berapa besar defisitnya? Apakah nilai utang Anda mencapai satu bulan, dua bulan, atau setahun pendapatan? Mudah-mudahan utang Anda hanya sebesar beberapa kali gaji atau pendapatan bulanan. Itu masih masuk akal. Akan tetapi, kalau sudah mencapai setahun pendapatan, Anda sudah bangkrut. Sebab, utang itu semata-mata untuk konsumsi. Berarti ada yang tidak beres dalam perilaku keuangan Anda.

Agar ada solusi, asumsikan saja utang yang dipakai untuk membiayai Lebaran adalah sebesar tiga kali pendapatan bulanan. Kalau pendapatan bulanan Anda sebesar Rp 4 juta, utang Anda sebesar Rp 12 juta. Itu baru pokoknya. Bagaimana dengan bunga? Lazimnya, bunga bank mencapai 15-20 persen per tahun. Berarti ada tambahan utang bunga sebesar Rp 2,4 juta. Dengan kata lain, bunganya sebesar Rp 200.000 per bulan. Nah, utang tersebut mesti bisa selesai dalam kurun waktu setahun. Dengan demikian, setiap bulan Anda mesti mengangsur Rp 1,2 juta. Dengan kata lain, sisa pendapatan Anda tinggal Rp 2,8 juta per bulan. Inilah yang boleh Anda pakai untuk membiayai kebutuhan hidup Anda dalam sebulan.

Berani membayar Boleh jadi Anda akan berteriak dan mengatakan jumlah tersebut tidak mencukupi untuk bayar ini, bayar itu, dan lain sebagainya. Namun, pernahkah Anda terpikir bahwa situasinya akan runyam seperti ini ketika Anda berutang? Berani berutang mesti berani membayar dan mencekik ikat pinggang. Itu konsekuensinya.

Apa tidak ada cara lain? Ada. Perpanjang masa pelunasan utang Anda. Kalau sebelumnya hitung-hitungan pembayaran adalah untuk masa setahun, sekarang bikin jadi dua tahun. Berarti kalau sebelumnya per bulan adalah Rp 1 juta untuk pokok, dan Rp 200.000 untuk bunga, sekarang menjadi Rp 500.000 untuk pokok, dan Rp 200.000 untuk bunga.

Kenapa bunganya tetap Rp 200.000? Ya, karena lazimnya pinjaman konsumtif akan dikenakan bunga yang dihitung berdasarkan pokok pinjaman. Jadi, kalau setahun bunganya Rp 2,4 juta, untuk dua tahun bunganya menjadi 4,8 juta. Nah, kalau dibagi 24 bulan, bunganya tetap saja Rp 200.000 per bulan. Dan, itu berarti angsuran Anda per bulan menjadi Rp 700.000 selama dua tahun. Dus, jika dihitung total, utang Anda menjadi Rp 16,8 juta untuk pelunasan dalam kurun waktu dua tahun. Sangat tidak menyenangkan.

Apa tidak ada jalan keluar yang lebih baik? Ada, yaitu jangan pernah berutang untuk keperluan konsumtif. Jika tidak mampu, jangan berutang dalam jumlah besar. Kalaupun terpaksa, jumlahnya jangan melebihi pendapatan bulanan Anda. Kemudian, upayakan membayar utang konsumtif dalam kurun waktu pendek. Adalah keliru jika mengulur-ulur waktu pelunasan utang konsumtif Anda karena jumlahnya akan semakin besar, dan bukan tidak mungkin Anda akan terjebak dalam "perangkap" utang.

(Elvyn G Masassya, pengamat keuangan)

Sent from Indosat BlackBerry powered by

Sumber: Kompas Cetak

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.
If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions
Next Post Previous Post