TEMPO Interaktif, - Istilah produk organik kini memang tak lagi seasing beberapa tahun lalu. Tapi nyatanya di masyarakat ada sebagian orang yang menganggap menggunakan produk-produk organik ini mahal dan repot.
Secara sepintas, dilihat dari segi harga, memang produk organik ini harganya lebih mahal daripada produk konvensional. Lihat saja di supermarket, sebonggol brokoli berukuran 2-3 ons harganya Rp 13-15 ribu. Sedangkan untuk brokoli di deretan konvensional ukuran 3 ons lebih, hanya Rp 18 ribuan.
Tapi benarkah mahal itu? Untuk kalangan bawah, selisih harga mungkin menjadi persoalan. Tapi, bagi kalangan menengah atas, apalagi sebagai pilihan gaya hidup, harga tak jadi soal.
Bibong Widyarti dan keluarganya telah beralih menjadi konsumen produk organik sejak 1997. "Hidup organik ini bersinergi dan harmonis dengan alam. Tidak hanya memberi pengaruh pada alam, tapi juga pada tubuh, jiwa, dan pikiran," ujar Bibong kepada Tempo di sela talk show Konsumen Organik di Jakarta pekan lalu.
Dia pun sempat mengadakan riset kecil-kecilan selama Juni 2010 hingga Juni lalu tentang alasan membeli produk organik. Hasilnya, sebagian besar karena ingin bebas dari pupuk sintetis, alasan kesehatan, bebas dari rekayasa genetik, dan alasan lingkungan. Soal harga, biasanya tak lagi jadi soal.
Produk organik pun semakin beragam, dari produk pangan, perkebunan, rempah, jamu, kosmetik, makanan bayi, pembersih, dan perawatan keluarga, fashion, dan furnitur. Sayur serta buah masih menjadi primadona, dan sudah dijual hampir di semua supermarket ternama.
Tak hanya dengan teori, Bibong pun menerapkan hal itu pada keluarganya. Mulai urusan makan, mencuci, hingga kegiatan lain, hampir semuanya organik dan ramah lingkungan. Dari urusan dapur, kamar mandi, hingga membersihkan rumah, semuanya dengan bahan alami yang dibuatnya sendiri. Sedikit agak repot sebelum terbiasa.
Walhasil dia berhasil menghemat pengeluaran rumah tangga. "Organik itu tidak mahal, tergantung tempat membelinya. Yang paling penting, mau mengedukasi diri sendiri," ujar ibu dua anak ini.
Bukan hanya Bibong, penyanyi Melly Manuhutu tak cuma membuktikan khasiat bahan pangan organik, tapi juga nyemplung dalam dunia bisnis ini. Dua outlet bahan makanan organik sudah dia miliki di wilayah Depok dan Jakarta.
Konsumsi organik Melly dimulai saat dia mulai "nyepi" ke daerah Puncak. Hidup di sana tak banyak pilihan untuk bahan makanan, kecuali sayur-mayur. Pertemuan dengan seorang petani yang menyarankan agar dia makan sayur dan beras organik. Melly segera berburu informasi di Internet dan mendapati bahwa bahan organik ini sangat menyehatkan. Dan dia pun membuktikannya.
"Aku ini alergi dingin, sering juga batuk pilek. Eh, setelah makan organik, tidak kambuh-kambuh lagi," ujar Melly saat dihubungi Tempo. Ibu dua anak ini pun tak lagi menyambangi dokternya. Padahal sebelumnya setidaknya sebulan sekali dia harus melakukan kontrol atau berobat.
Terbiasa makan sayur, beras, buah, dan bahan pangan organik lainnya membuat alarm tubuhnya lebih sensitif. Kepalanya jadi pusing setelah makan makanan yang mengandung vetsin. Soal rasa sayur dan bahan pangan konvensional juga terasa bedanya. "Terasa pahit, manisnya beda," ujar Melly.
Melly kemudian jadi rajin menyebarkan rahasia sehat mengkonsumsi bahan organik kepada keluarga, kolega, dan sahabatnya. Apalagi bagi mereka yang anggota keluarganya sedang dalam pengobatan kanker, autisme, dan hiperaktif.
Soal anggapan mahal, menurut perempuan multi-talenta ini, untuk mendapatkan bahan organik, diperlukan usaha. Dia mengakui akhirnya organik menjadi pilihan kelas menengah ke atas. "Logisnya, daripada makan obat dan biaya rumah sakit, mending makan bahan yang sehat. Soal harga, itu pilihan tempat saja," katanya.
Jika tak ingin mahal, Melly menyarankan agar menanam sendiri sayur atau buah secara organik. Tanpa butuh halaman yang luas, cukup dengan media tanam yang kecil, misalnya pot atau tong.
Senada dengan Bibong dan Melly, menurut Direktur Eksekutif Aliansi Organis Indonesia Rasdi Wangsa, soal harga yang lebih tinggi ini, karena produk organik ini butuh usaha ekstra. Tantangan seperti ketersediaan produk serta akses produsen dan konsumen masih ditemui para pegiat produk organik. "Mahal ini relatif, karena usaha dan hasil untuk alam, petani dan kesehatan menjadi lebih bernilai, tak hanya dinilai dari harga," ujarnya.
Riset organisasi ini menyebutkan, 53 persen konsumen tak keberatan terhadap harga yang lumayan mahal. Pedagang produk organik pun semakin banyak. Agar masyarakat mendapatkan informasi yang benar tentang produk organik, konsumen adalah unsur yang paling penting untuk diberi edukasi.
Organisasi yang dipimpin Rasdi ini juga mulai mengenalkan adanya sertifikasi. Baik dari organisasi maupun dari pihak ketiga, seperti logo Biocert, Organik Indonesia, dan Pamor. Masyarakat bisa mengandalkan jejaring komunitas dan berhubungan langsung dengan petani atau produsennya. "Setidaknya ini untuk menjamin benar-benar produk organik atau tidak," ujarnya.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Husna Zahir mengingatkan jaminan produk organik ini. Sebab, informasi soal organik belum banyak dan masyarakat pun butuh kepercayaan. Masyarakat juga harus jeli dan mempunyai kesadaran kritis soal label serta produk yang dijual. Apalagi di supermaket selisih harganya cukup signifikan.
Menurut dia, sertifikat dari lembaga yang berkecimpung di bidang organik cukup membantu. Tapi hendaknya sertifikat juga jangan semata-mata menjadi alat jaminan. Sebab, dari pantauan di lapangan, banyak pula produk organik yang belum bersertifikat. Pemerintah pun perlu memberi pengakuan kepada komunitas dan melakukan pengecekan dokumen. Pengawasan dari komunitas juga menjadi salah satu pantauan untuk produk organik.
| UTAMI WIDOWATI | DIAN YULIASTUTI