KOMPAS.com - Fitria Yusuf dan Alexandra Dewi, dua perempuan pengusaha yang juga adalah penulis ini kembali berkolaborasi mencipta karya, sebuah buku berjudul Hermes Temptation. Ini kali kedua perempuan yang akrab disapa Fifi dan Dewi ini merilis buku bersama. Pada 2009 lalu, mereka sukses meluncurkan buku "Little Pink Book: Jakarta Style & Shopping Guide".
Belanja dan selera perempuan dalam bergaya rupanya menarik perhatian kedua perempuan ini. Jika sebelumnya, keduanya merasa perlu menuliskan panduan berbelanja dan bergaya di Jakarta, kini Fifi dan Dewi merasa penting berbagi mengenai fenomena tas Hermes bagi perempuan urban modern di kota besar.
Tas impor merek Hermes dengan berbagai jenis menjadi primadona di Indonesia, untuk kalangan khusus tentunya. Tak sulit menjumpai koleksi tas Kelly dan Birkin keluaran Hermes misalnya, di mal ternama di Jakarta. Bagi sejumlah perempuan, Hermes memiliki pesona yang membuat mereka tergoda untuk membelinya, langsung atau melalui broker.
Pengalaman jual-beli tas Hermes, dan seperti apa kebiasaan perempuan di Indonesia, khususnya di Jakarta dalam memperlakukan tas eksklusif ini, digambarkan dengan bahasa yang ringan melalui buku Hermes Temptation oleh Fifi dan Dewi. Keduanya pun punya profesi baru sejak setahun lalu, sebagai broker untuk memenuhi "mimpi" kaum hawa menjinjing tas berlabel Hermes.
"Awalnya saya diwariskan tas Hermes dari saudara ipar. Saya mendapatkannya gratis, dan ketika saya coba pakai dengan jeans dan kaos, kok tas ini terlihat bagus. Sejak itu saya mulai menggemari Hermes, dan bahkan sempat terobsesi olehnya selama 1,5 tahun," kata Dewi seusai jumpa pers di restoran Pesto Autentico, Jakarta, Selasa (29/11/2011).
Dalam bagian awal bukunya, Dewi menuliskan, tas Hermes pertama yang dimilikinya merupakan pemberian saudara iparnya di luar negeri yang tak menyukai model tas jinjing keluaran Hermes ini. Pemberian yang dinilai sebagai keberuntungan bagi Dewi. Pasalnya, di Indonesia "demam" Hermes kian menjadi. Banyak perempuan yang rela menghabiskan tabungan untuk memiliki setidaknya satu saja koleksi Hermes.
"Bahkan ada yang memiliki Hermes, namun tak punya mobil, dan mengandalkan taksi kemana pun ia pergi," kata Dewi, menambahkan harga sebuah tas Hermes bisa mencapai Rp 500 juta, meski ada juga koleksi yang lebih murah mulai Rp 19 juta.
Baik Dewi dan Fifi, keduanya penggemar Hermes. Fifi mengaku membeli Hermes Birkin ukuran 35 untuk kali pertama di Singapura sekitar tahun 2000. Hingga saat ini Fifi mengoleksi empat tas Hermes.
Lantaran suka dengan modelnya, ditambah lagi Hermes memang memiliki tempat khusus di hati perempuan usia 25-55 tahun di Indonesia, keduanya pun melihat celah bisnis darinya.
Maklum, berbisnis bukan pengalaman pertama bagi keduanya. Fifi sendiri adalah Komisaris sebuah perusahaan penyewaan alat berat untuk industri pertambangan, dan memiliki sejumlah toko online yang menjual ragam aksesori. Sementara Dewi, selain produktif menulis lima buku sebelumnya, ia juga co-owner restoran Italia Pesti Autentico yang berlokasi di pusat bisnis Jakarta.
Di buku terbarunya ini, Dewi menulis, "Jangan pernah bilang tidak. Karena awalnya, saya tak pernah menyangka dapat memiliki Hermes. Dan pada 2010, saya mendapati diri saya sedang memotret sebuah tas Alligator Birkin, dari 26 sisi, untuk memastikan tas tersebut terlihat sempurna sebelum akhirnya sampai ke tangan pelanggan".
Sejak itulah, Fifi dan Dewi dipercaya menjadi broker Hermes, oleh para pecinta Hermes yang kebanyakan adalah perempuan Indonesia dari berbagai kalangan. Mulai ibu rumah tangga, profesional muda, pengusaha hingga selebriti.
"Bahkan mulai banyak remaja yang dibelikan Hermes oleh orangtuanya," lanjut Dewi.
Alasan perempuan mengoleksi tas Hermes lebih karena merasa lengkap dengan memilikinya. Selain juga, ada beberapa perempuan yang juga membelinya dengan alasan prestise atau bahkan sebagai pengakuan diri dan simbol status sosial. Alasan lain yang juga didapati Fifi dan Dewi adalah, ada beberapa kalangan yang menjadikan Hermes sebagai simbol keanggotaan.
"Ada kelompok arisan perempuan yang anggotanya adalah para pemilik Hermes. Jadi, untuk menjadi bagian dari kelompok arisan ini, perempuan tersebut harus memiliki Hermes," jelasnya.
Seluk beluk Hermes, gaya hidup perempuan di perkotaan, bahkan bagaimana cara membedakan Hermes asli dan palsu, dikupas habis di buku kedua Fifi dan Dewi ini. Semua hal yang disampaikannya murni berasal dari pengalaman pribadi, dari bisnis jual-beli Hermes melalui tujuh Blackberry Messanger Group dengan total 30 anggota.
Dari 30 anggota yang menggemari Hermes ini, Fifi dan Dewi menikmati bisnis yang dibangunnya dari kejelian melihat celah. Keuntungan finansial bukan menjadi penggerak utamanya. Pasalnya, dari harga sebuah tas Hermes yang bernilai jutaan, Fifi dan Dewi mengecap untung mulai Rp 500.000. Melalui fitur grup Blackberry Messanger, dua perempuan ini menjual 80 persen tas Hermes asli yang baru, dan 20 persennya tas second-hand berusia 1-2 tahun pemakaian.
Pesona Hermes nyatanya masih menggoda bagi Dewi dan Fifi. Namun, kini, mereka tak lagi menanggapi godaan dengan obsesi berlebihan untuk mengoleksi demi kepuasan pribadi. Godaan Hermes lebih menjadi stimulasi bagi keduanya untuk menjadi "mediator" para penikmat sensasi Hermes, melalui sebuah bisnis kolaboratif yang multitasking.
Sebuah buku pun lahir dari godaan Hermes ini. Menurut Dewi, buku ini diterbitkan lebih untuk menjadi cermin bagi para penggemar Hermes.
"Boleh saja menggemari Hermes, namun tidak mendewakannya. Jangan menjadikan Hermes sebagai sesuatu yang melengkapi pribadi. Jangan menjadikan tas ini sebagai sesuatu yang dianggap dapat menutupi kekurangan diri. Apalagi jika merasa lebih dari yang lain ketika memakai Hermes. Selama tidak memaksakan diri, tidak merugikan orang lain, tidak menipu, boleh saja mengoleksi Hermes," kata Dewi yang juga diamini Fifi.
Buku yang ditulis dalam bahasa Inggris ini diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, dan dibanderol Rp 125.000.
Mengapa disampaikan dalam bahasa Inggris? Fifi menjawab,"Banyak istilah yang lebih tepat disampaikan dalam bahasa Inggris. Bahasa Inggris yang ringan ini dapat dipahami siapa saja. Selain juga kami berharap, semoga saja ada penerbit asing yang tertarik menerbitkan buku ini ke depannya. Kalangan ekspatriat di Indonesia juga dapat lebih mudah mencernanya".
Kalangan ekspatriat memang menjadi sasaran, meski diakui Fifi dan Dewi, pelanggannya lebih didominasi perempuan Indonesia dibandingkan kalangan ekspatriat yang tinggal di Jakarta misalnya.
Tertarik menelusuri fenomena Hermes di Indonesia? Buku Hermes Temptation setebal 400 halaman ini dapat menjadi teman baru Anda. Teman yang dapat menghibur, sekaligus juga menambah informasi yang boleh jadi tak Anda temui sehari-hari, mengenai gaya hidup sejumlah kalangan, yang tergoda, bahkan terobsesi oleh pesona Hermes.