TEMPO Interaktif, Jakarta:-Mestinya malam itu jadi hari yang menyenangkan bagi Antonio Cassano, 29 tahun. Striker AC Milan tersebut baru saja membela klubnya saat melawan AS Roma pada Sabtu dua pekan lalu. Milan memenangi laga tandang itu dengan skor 3-2. Tapi tak dinyana, saat berada di pesawat bersama rombongan, tiba-tiba ia kesulitan berbicara dan bergerak. Penglihatannya juga kabur. Dia mengalami kejadian itu sekitar 30 menit sebelum akhirnya kembali normal. Keesokan harinya, Cassano harus dirawat di Rumah Sakit Policlino.
Dokter tim, Rodolvo Tavana, mengatakan Cassano berada dalam kondisi tidak sehat. Dia menyarankan Cassano agar menjalani pemeriksaan jantung dan saraf di rumah sakit tersebut. Surat kabar La Gazzetta dello Sport menyebutkan bahwa Cassano terkena transient ischemic attack (TIA) atau gangguan fungsi otak sementara akibat berkurangnya pasokan darah.
Menurut guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Budhi Setianto, SpJP, serangan ischemic (iskemia) terjadi akibat kurangnya pasokan oksigen pada organ tertentu. Oksigen ini dibawa oleh butir-butir darah.
Mekanisme sirkulasi darah mensyaratkan adanya pembuluh darah sebagai pipa, jantung sebagai pompa, serta listrik jantung yang mengatur irama detak jantung. "Jadi memang tidak sederhana, harus diperhitungkan semuanya," kata Budhi saat ditemui di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, Jumat lalu.
Pada atlet profesional, latihan keras mampu membuat jantung berdegup kencang sehingga otot jantung pun jadi tebal. Sementara orang kebanyakan memiliki 60-100 denyut jantung per menit, seorang atlet bisa 35-180 denyut jantung. Ketebalan otot ini pada akhirnya mempengaruhi irama jantung yang diatur oleh listrik jantung. "Kelainan listrik jantung juga bisa mengakibatkan iskemia," kata Budhi.
Serangan iskemia juga bisa terjadi akibat gaya hidup tidak sehat. Meskipun sudah berolahraga rutin, bila pola makan tidak sehat, misalnya meminum minuman keras atau makan makanan berlemak, bisa mengakibatkan penyempitan pembuluh darah yang menimbulkan iskemia.
Menjadi atlet atau olahragawan memang bukan jaminan terbebas dari serangan jantung. Ini pun diiyakan dr Phaidon Toruan, corporate trainer di bidang kesehatan. "Kuat tidak sama dengan sehat. Kalau atlet kuat, iya, tapi belum tentu sehat," kata Phaidon.
Dia menilai kerasnya persaingan dalam industri sepak bola telah menyebabkan pemain harus berada dalam penampilan yang maksimal di luar batas kemampuan manusia normal. "Industri ini bikin pemain jadi inhuman," ujarnya.
Kasus meninggalnya pemain saat berlaga cukup sering terjadi. Ini, misalnya, dialami Marc-Vivien Foe, yang meninggal di tengah lapangan saat pertandingan antara Kamerun versus Kolombia pada 2003. Dari dalam negeri, ada nama Eri Irianto, 26 tahun. Pemain Persebaya Surabaya ini meninggal dengan dugaan gagal jantung beberapa jam setelah Persebaya melawan PSIM Yogyakarta pada April 2000.
Serangan jantung memang telah menjadi penyakit paling mematikan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Federasi Jantung Sedunia (World Heart Federation) memprediksi penyakit jantung akan menjadi penyebab utama kematian di negara-negara Asia pada 2010. Saat ini sedikitnya 78 persen kematian global akibat penyakit jantung terjadi pada kalangan miskin dan menengah.
Di Indonesia, tingginya angka kematian akibat penyakit jantung mencapai 26 persen. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional, dalam 10 tahun terakhir, angka tersebut cenderung meningkat. Pada 1991, angka kematian akibat penyakit jantung sebesar 16 persen. Pada 2001, angka itu melonjak menjadi 26,4 persen. Angka kematian akibat penyakit jantung diperkirakan mencapai 53,5 per 100 ribu penduduk di Indonesia.
Sebenarnya tidak sulit mencegah penyakit mematikan ini. "Lakukanlah gaya hidup sehat," kata Phaidon. Gaya hidup sehat yang dimaksudkan adalah pola makan yang sehat, cukup olahraga, serta menghindari stres. Menurut Phaidon, pola makan yang sehat dan pengelolaan stres inilah yang kadang luput dari perhatian banyak orang, termasuk atlet.
l Amirullah