Memburu Urban Toys Hingga Jepang

Tempointeraktif.com - Gaya Hidup
Tempointeraktif.com - Gaya Hidup
Memburu Urban Toys Hingga Jepang
Nov 16th 2011, 05:27

TEMPO Interaktif, - Rumah Win Satrya seperti galeri. Beragam urban toys memenuhi bagian lantai dua rumahnya di sekitar Tomang, Jakarta Barat. "Rumah kayak kebun binatang," ujar pria 30-an tahun ini sembari tersenyum lebar.

Tiga tahun silam Win termasuk kolektor urban toys terbanyak di Indonesia. Koleksinya mencapai 10 ribu buah. Tentu melalui perjalanan panjang dan berliku. "Saya pernah kejar sampai Jepang untuk mendapatkan mainan," ucap salah seorang pendiri Plastic Culture, distributor Uglydolls di Indonesia, yang juga menjadi wadah komunitas para kolektor dan desainer urban toys Indonesia.

Bahkan ketika masih tergila-gila mengoleksi urban toys, saat masih belajar di Amerika, Win rela merogoh US$ 2.000-3.000 setiap bulan untuk membeli mainan ini.

Urban toys adalah mainan yang diproduksi dalam jumlah terbatas dan biasanya menjadi koleksi, bahkan juga diburu oleh desainer lain. Belakangan urban toys juga dikenal sebagai designer toys, juga vinyl toys, karena kebanyakan terbuat dari bahan vinyl. Harganya pun kerap sangat tinggi. Misalnya karya Arkiv Vilmansa, desainer urban toys dari Bandung, yang dipajang di gerai Plastic Culture di Grand Indonesia, harganya Rp 18 juta. Karya Arkiv tersebut berkarakter manusia yang berbentuk mengerucut, setinggi sekitar 60 sentimeter.

"Kalau orang kita diberi tahu harganya, mereka akan bilang mainan kayak begini kok mahal. Tapi di luar negeri, karya Arkiev ini begitu dihargai," kata Win. Arkiev adalah salah satu dari sedikit desainer yang sudah go international.

Tak hanya Win yang suka sekali mengoleksi urban toys. Arkiv sendiri juga mengawali dunia urban toys-nya dengan mengoleksi mulai tahun 2000-an. "Saya melihat sesuatu yang beda di toys ini tidak layaknya seperti action figure," kata pria 31 tahun ini. Tokoh-tokoh aksi dia anggap membosankan.

Proses pengejaran selalu menjadi aksi seru. Karena mainan ini limited edition, kalau telat membeli setelah rilis harganya pun bisa 2-3 kali lipat. "Bayangkan kalau harganya US$ 500," katanya.

Uniknya lagi, banyak sekali kolektor urban toys yang kemudian menjadi desainer seperti Arkiv. Win juga sempat menjadi desainer. Marine Ramdhani, pemilik My Tommy Toys yang juga berkolaborasi dengan Win, juga kolektor yang kemudian menjadi desainer. Ia juga menjualnya di distro miliknya di Bandung, Lou Belle.

Marine mengaku mulai tertarik dengan dunia urban toys sejak tahun 2004. "Waktu itu ikut-ikut Mocca suka tur ke luar negeri," ucap dia.

Ia mulai membuat urban toys tiga tahun lalu bersama temannya. Ia mengusung konsep urban toys berbau Indonesia. "Saya pilih badak bercula satu," kata pemilik distro Lou Belle ini. Mainan karyanya dinamai Jouwe yang kini menjadi identitas Marine di dunia urban toys.

Warga Bandung lain, Yudi Andhika, juga demikian. Pria 30 tahun ini ini sejak kecil telah dicekoki dengan berbagai mainan. Ketika sedang berselancar di Internet, dia menemukan urban toys karya desainer Hong Kong Michael Lau. Sejak itu dia terus menggali informasi soal urban toys

Seperti Arkiv, Win, dan Marine, Yudi juga mulai menjadi desainer. Maret lalu ia meluncurkan mainan dengan karakter yang diberi nama "Goji the Dino". Mainan berbentuk dinosaurus warna dominan kuning ini dibuat hanya 30 buah yang masing-masing dihargai US$ 250.

Karena mahalnya mainan ini, komunitasnya memang tidak sangat besar. Selain itu, "Sebagian besar masih menilainya dari bentuk dan kelucuannya. Masih sedikit yang menilai mainan ini dari apa yang ada di balik mereka, sejarah, dan filosofinya," kata Marine.

Tapi belakangan penggemar urban toys terus meningkat. Demikian pula para desainernya. Banyak desainer berhasil menembus pasar internasional. "Awalnya saya minder ketika masuk di urban toys di Amerika. Tapi, untuk saat ini, mereka cukup menerima, dan saya orang pertama yang di lingkungan mereka," kata Arkiv yang merilis Arkive Instant pertama dua tahun lalu oleh Adfunture dari Shanghai, Cina.

Karya Marine juga diproduksi dan dipasarkan oleh perusahaan Amerika. Para desainer pun saling membantu. Seperti yang dilakukan Plastic Culture.

AMIRULLAH | NANDA SUGIONO

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.
If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions
Next Post Previous Post