Jakarta (ANTARA News) - Teknologi operasi minim sayatan (minimal invasive surgery) mampu menyingkirkan masalah penyakit endometriosis berat (deep endometriosis).
"Operasi ini masih merupakan pilihan terbaik untuk meringankan gejala endometriosis, memperbaiki anatomi panggul, dan meminimalisir kekambuhannya karena terapi medis masih terbatas untuk memperbaiki dan meningkatkan fungsi kesuburan pada organ perempuan," kata Presiden Masyarakat Endoskopi Ginekologi Indonesia (IGES), dr. Wahyu Hadisaputra, SpOG(K), di RS Ibu dan Anak YPK Mandiri Jakarta, Senin (14/11).
Wahyu menjelaskan operasi minim sayatan ini memiliki keuntungan karena mampu melakukan lima kali pembesaran sehingga dokter pembedah mendapatkan gambaran yang tepat.
"Minimal invasive surgery juga mampu mencapai daerah yang sulit dijangkau jika dengan teknik operasi konvensional," kata Wahyu.
Pembedahan dalam operasi minim sayatan ini, menurut Wahyu, dilakukan pada tiga titik tubuh pasien dengan dua sayatan sebesar lima milimeter dan satu sayatan sebesar 10 mm.
Sementara, Sekretaris IGES, dr Herbert Situmorang SpOG, mengatakan harga operasi endoskopi (bedah dalam perut) yang demikian memang lebih mahal bagi pasien karena melibatkan peralatan dengan teknologi baru.
"Tapi kalau dilihat secara keseluruhan terutama rehabilitasi pascaoperasi, obat-obatan yang dikonsumsi lebih sedikit dan biaya sewa kamar rumah sakit lebih ringan karena dalam dua minggu pasien sudah kembali sehat," kata Herbert.
Herbert mengatakan pengetahuan tentang teknik operasi minim sayatan ini masih dikembangkan kepada seluruh dokter di Indonesia, salah satunya workshop endoskopi ginekologi oleh Ketua Masyarakat Endoskopi Ginekologi Jerman, Dr. Hans Rudolf Tinneberg di RSIA YPK Mandiri.
Endometriosis merupakan penyakit bukan kanker yang ditimbulkan akibat selaput lendir rahim yang tumpah ke rongga perut dan bukan sebagai haid.
Endometriosis berat (deep endometriosis) yang masuk ke dalam organ-organ tubuh lain menyebabkan rasa nyeri dan bahkan kesulitan memperoleh keturunan. (SDP16)