Selangkah lagi menapaki karier modeling yang begitu diimpikan, Ashley McRoy divonis menderita kanker usus langka dan mematikan.
KapanLagi.com - Sejak itu, impian sejak kecilnya – sign kontrak dengan agensi ternama hingga melenggang di fashion show – berubah menjadi sebuah perjuangan menahan rasa sakit.
Sampai menginjak usia sekarang ini, orang-orang di sekeliling saya tak pernah berhenti menyarankan saya untuk menjadi seorang model. Apabila dibandingkan dengan wanita lain yang sepantaran, badan saya memang lebih tinggi dan ramping dengan rambut yang pirang tebal.
Kira-kira empat tahun yang lalu, setelah keluarga memilih pindah dari North Carolina untuk menetap di New Jersey, kesempatan untuk meraih mimpi menjadi seorang model yang saya idam-idamkan seumur hidup mulai terbuka. Dan New York, kota kiblat fashion dunia, hanya berjarak sejengkal dari halaman rumah saya! Makanya, tanpa berpikir dua kali saya pun langsung mengambil sebuah keputusan dan segera memanfaatkan kesempatan emas ini. Foto-foto yang saya kirimkan melalui sebuah situs modeling ternyata melayangkan saya ke sebuah pertemuan dengan salah satu agensi ternama di New York.
Pertemuan itu membuahkan hasil yang kian melambungkan harapan. Mereka tertarik dengan keunikan wajah yang saya miliki, dan ingin segera membuatkan jadwal pemotretan untuk saya. Dengan kata lain, saya dinyatakan resmi memasuki industri ini. Semangat mulai meluap-luap, apalagi tahu jika di usia remaja, saya bisa menembus dunia yang hanya segelintir orang terpilih saja bisa terjun ke dalamnya. Beberapa hari menjelang penandatanganan kontrak dengan agensi modeling, rupanya ada sesuatu yang saya temukan dan itu sangat mengerikan.
Berbaring di atas tempat tidur sambil mengusapkan tangan di area perut, tiba-tiba saya mendapati tangan saya meraba sebuah benjolan padat, kira-kira tepat di sebelah kanan pusar. Tidak terasa nyeri sedikit pun ketika saya menekannya. Makanya, saya tak merasa perlu cemas yang berlebihan. Namun, tepat dua minggu berselang, benjolan itu ternyata masih ada di sana dan terlihat membesar dari tempo hari. Menengok ke arah bawah, dengan kasat mata saya lihat jelas sebuah benjolan besar di bawah permukaan kulit perut saya. Panik, saya berlari mencari ibu dan menceritakan hal ini padanya. Reaksi gugupnya terpancar jelas, dan cukup membuatnya langsung tergesa-gesa membuat janji dengan dokter keluarga kami.
Diagnosa Yang Mengejutkan
Begitu dokter melihat benjolan yang timbul di perut saya, dari wajahnya saya bisa tahu kalau ada sesuatu yang tidak beres. Hasil pemeriksaan ultrasound dan CAT scan pun meyakinkan hal yang sama, tapi juga mencurigakan. Supaya bisa mendeteksi penyakit apa yang sebenarnya menimpa saya, maka dokter merujuk saya ke dokter spesialis dan menjalani pemeriksaan kolonoskopi-sebuah pemeriksaan laboratorium dengan alat bantu kamera yang akan mengambil gambar di area dubur lebih detail lagi.
Selama prosedur berlangsung, tim dokter juga mengambil beberapa sampel sel untuk selanjutnya dibiopsi. Mendengar percakapan para dokter kalau biopsi segera dilakukan, perasaan ngeri mulai menghantui saya. Mulai terlintas pikiran yang tidak-tidak, seperti rasa sakit yang akan saya alami, jarum suntik yang menusuk kulit, hingga pisau operasi yang menyayat kulit. Thankfully, keahlian dokter-dokter yang menangani membuat saya tak merasakan hal-hal itu sama sekali.
Beberapa hari kemudian, di sela makan malam, orang tua saya memecah suasana dengan menyampaikan kabar soal hasil yang mereka terima dari dokter. "Hasil biopsi kemarin sudah keluar, dan kamu menderita kanker usus," ucap ibu saya dengan suara yang sedikit bergetar. Kemudian ia pelan-pelan menjelaskan bahwa tim dokter juga belum yakin akan seberapa luas sel kanker yang menjangkiti organ-organ tubuh saya. Yang jelas, dokter bisa memastikan bahwa benjolan itu adalah sebuah tumor yang agresif. Sulit untuk dipercaya, bagaimana saya bisa mengidap kanker di usia saya yang masih belia. Apalagi menyandang sakit kanker di usia muda sangat langka ditemukan – hanya 0.5 persen penderita kanker usus besar di bawah usia 20 tahun.
Sementara saya berusaha keras mencerna berita mengejutkan ini, kedua orang tua saya mendesak agar saya segera menjalani operasi untuk mengangkat tumor-tumor ini secepat-cepatnya. Rasa gelisah segera merambat pada saat tidur. Anehnya, gelisah saya bukanlah pada masalah akan berhadapan langsung dengan kematian. Ada sesuatu yang membuat saya sangat kecewa, yaitu menerima kenyataan kalau gara-gara penyakit ini, maka karier modeling akan jauh dari gapaian saya. Terasa begitu pahit, begitu menyakitkan, mengetahui saya bahkan belum sempat menjejakinya.
Dunia terus berputar dan waktu terus berjalan. Modeling adalah industri yang memiliki roda. Dalam artian, mereka yang berusia mudalah yang akan laris dipakai oleh para desainer. Inilah yang menjadi kekhawatiran terbesar saya. Semakin lama waktu yang dihabiskan untuk menyembuhkan penyakit mematikan ini, maka kesempatan untuk meretas karier modeling pun pupus sudah. Memikirkan hal ini cukup menguras pikiran saya, ketimbang harusnya memikirkan kalau dalam beberapa minggu lagi saya akan berjuang untuk tetap bisa hidup di atas meja operasi.
Semakin Buruk
Di akhir bulan, akhirnya operasi itu berlalu. Proses operasi harusnya hanya memakan waktu satu setengah jam, namun eksekusi bedah saya berjalan lebih lama dari biasanya hingga berlangsung hingga lima jam. Pertama sang dokter coba melakukan pembedahan, laparaskopi-melalui pusar-di mana sayatan luka dibuat sangat kecil untuk memasukkan alat bedah khusus berupa kamera supaya bisa meneropong bagian tubuh yang hendak dioperasi. Dokter memastikan untuk melakukannya dengan ekstra hati-hati. Sayangnya, ketika ia membedah perut saya, ia mendapati sel kanker telah meluas, jauh dari sesuatu yang ia antisipasi. Bukan hanya satu tumor yang ia temukan, melainkan jaringan tumor ganas yang telah merambat ke usus kecil di luar dinding perut, tepat di samping liver saya.
Ketika saya terbangun, dokter bedah memberi informasi yang menyentakkan hati. Ia telah berupaya semaksimal mungkin – membedah tubuh saya hingga penuh luka bekas operasi – namun ia masih belum mampu mengangkat semua sel kanker yang telah meradang di dalam tubuh saya. Ia menyarankan kalau satu-satunya tindakan yang bisa ditempuh untuk meniadakan tumor itu adalah dengan menempuh proses kemoterapi. Berita ini belum menyayat hati saya. Hingga akhirnya ia mengatakan dengan nada tanpa harap, peluang saya untuk bisa bertahan hidup hanya sebesar 20 persen. Barulah kabar itu membuat saya luar biasa terpukul. Kanker ini pelan-pelan akan membunuh hidup saya, menerbangkan segala impian saya. Lagi-lagi kenyataan itu harus saya terima dengan tegar. Menerima kalau perjuangan saya hanyalah sampai di sini. Tanpa harapan.
Terhimpit, Tapi Berjuang dan Berharap
Takut, tapi rasanya dengan tekad kuat untuk bisa melawan penyakit mematikan ini, membakar semangat saya untuk menjalani kemoterapi seminggu kemudian. Dokter menaruh harapan setidaknya melalui jalan ini sel-sel kanker yang tak bisa diberantas lewat jalan operasi, bisa terbunuh pelan-pelan.
Maka, jadwal baru yang harus saya jalani setiap harinya adalah rutin pergi ke rumah sakit untuk kemoterapi sekali dalam seminggu; di hari yang sama, saya menghabiskan tujuh jam lamanya sementara obat kemo dipompa masuk ke dalam tubuh. Dalam tiga hari ke depan, saya membawa alat kecil yang terus melekat di tubuh supaya proses pompa itu bisa terus berlanjut. Lalu, kembali 'menyetor' ke rumah sakit untuk melepaskan alat pompa itu dari tubuh. Serupa, dan begitu seterusnya. Melakukan hal yang sama, berulang-ulang setiap minggu. Lambat laun saat tak merasa menjalani perawatan yang menyiksa diri, saya menjalani aktivitas normal. Pergi kuliah seperti biasa, menghabiskan waktu bersama ibu, dan berupaya menjejali tubuh dengan makanan sehingga membuat tubuh saya tetap kuat. Bisa dibilang selama ini saya cukup religius, tapi saya semakin mendekatkan diri dengan Tuhan untuk menopang ketegaran dan meretas kekuatan dari sana.
Kepanikan mulai menghantui di minggu-minggu kemoterapi. Saya mulai merasa muak untuk makan, lemah saat melangkah, bahkan perlu mengerahkan tenaga untuk bisa bangkit dari tempat tidur. Di minggu terburuk, semangat mulai terkikis. Agar bisa menelan seteguk air, ibu sampai duduk di tepi tempat tidur dan memohon saya untuk minum. "Kamu masih ingin hidup kan?," ia bertanya dengan nada lembut. Saya ingin, ingin sekali. Akhirnya saya menguatkan diri untuk menelannya.
Usaha Memusnahkan Penyakit Itu
Usai menjalani enam kemoterapi yang melelahkan hampir setiap minggu selama tiga bulan lamanya, sebuah kabar gembira datang: Kanker itu telah hilang. Meski rasa bahagia itu meluap-luap, saya masih harus menyiapkan kemungkinan terburuk yang bisa muncul di depan mata: bahwa penderita kanker baru bisa dinyatakan bersih setelah lima tahun sejak vonis itu.
Berita itu menyulut semangat saya untuk kembali menjalani kemoterapi selama tiga bulan ke depan demi memastikan kanker itu berhasil diberantas seutuhnya. Pemeriksaan CAT Scan setiap bulan juga tidak dihentikan selama beberapa bulan ke depan, supaya tim dokter bisa memantau apakah sel kanker ganas masih punya peluang untuk berkembang biak dan merambat lagi di tubuh. Empat tahun berlalu semenjak diagnosa saya terima, dan sejauh ini, saya telah dinyatakan bersih dari penyakit yang membelit di usus ini.
Di luar perjuangan keras, ternyata masih ada keberuntungan lain yang melampaui prediksi para dokter. Sebagai pengidap kanker yang cukup ganas, saya termasuk beruntung karena tak banyak kehilangan rambut. Ini adalah sesuatu yang signifikan, karena rambut begitu berarti buat saya. Menjadi sebuah kehilangan terbesar apabila rambut saya rontok lalu tak bisa lagi tumbuh indah dengan warna dan tekstur yang sama seperti semula. Ini akan jadi penghalang terbesar untuk kembali meniti karier yang bahkan belum sempat saya bangun.
Kemoterapi belum sepenuhnya tuntas saya lalui, namun saya memutuskan untuk menandatangani kontrak kerja dengan sebuah agensi kecil dan sesegera mungkin mulai bekerja. Saya jadikan ini sebagai selingan untuk mengisi hari-hari saya yang mostly dihabiskan di rumah sakit. Dengan begitu, pikiran tidak hanya terpaku dengan proses penyembuhan, melainkan berganti dengan semangat menjalani kehidupan yang lain. Beberapa perjanjian photoshoot telah saya setujui, termasuk kontrak pemotretan dengan majalah Cosmopolitan di musim semi lalu.
Sungguh luar biasa wajah saya, tubuh saya bisa menghiasi halaman-halaman majalah fashion, muncul di iklan televisi atau koran setelah melihat apa yang saya lalui sebelumnya. Saya merasa anugerah itu luar biasa hebat ketika saya duduk di atas sofa, menunggu nama saya dipanggil, lalu bisa casting di depan kamera dan unjuk kebolehan modeling saya. Dari sanalah saya sadar, saya adalah wanita paling beruntung sedunia. Saya telah lolos dari maut kanker, sempat begitu dekat dengan kematian saat berada di meja operasi, dan sekarang...saya masih bisa berdiri meraih mimpi yang saya cita-citakan sejak dulu.
Cancers That Should Be on Your radar
Penyakit ini memang jarang menimpa wanita di usia muda, namun tak ada salahnya bila Anda juga waspada.
Kanker kulit
Lakukan pengecekan rutin untuk seluruh tubuh setahun sekali, terlebih bagi Anda yang beraktivitas di bawah terpaan sinar matahari.
Kanker serviks. Lakukan tes pap smear tiap tahun untuk menangkap sel-sel serviks prakanker atau kanker. Tanyakan pada ginekolog Anda soal vaksin HPV.
Kanker payudara
Periksa payudara dengan melihat dan mengusapnya dengan tangan. Beritahu dokter Anda jika merasakan ada gumpalan ataupun benjolan di sekitar payudara. (Cosmo/bee)
Source: Cosmopolitan Edisi November 2011, Halaman 225
Provided by: