Rabu, 14 Desember 2011 | 13:47 WIB
TEMPO.CO, Bandung - Sejak SMP, Syamsul Bahri, 33 tahun, telah menggilai musik metal. Sampai sekarang, penggemar band Jasad, Forgotten, dan Burger Kill itu masih suka datang ke konser musik "bawah tanah" di Bandung. Karyawan di sebuah perusahaan konsultan itu pun tertarik ke elemen yang menempel lekat di band metal, yaitu artwork. "Saya masih belajar gambar anatomi tubuh yang bagus," kata dia.
Di atas kertas gambar A3, ia membuat sketsa sosok zombie atau mayat hidup bertubuh kurus. Aksi makhluk itu seseram wajahnya. Tangan kanannya kokoh menggenggam gergaji listrik, sedangkan tangan kirinya menenteng kepala orang. Gambar-gambar serupa juga muncul dari sketsa 20-an peserta workshop desain dan produksi merchandise band metal. Mereka menggarap tema berjudul Teologi atau Ketuhanan.
Pelatihan pada Sabtu, 10 Desember 2011, itu diberikan komunitas The Illuminator di pendopo Common Room, Jalan Kyai Gede Utama, bersama dua dinas Pemerintah Kota Bandung. Materi yang diberikan mulai dari riset artwork band metal, sketsa, menggambar dan mewarnai di komputer dengan pen table, hingga sablon gambar ke kaos. Pelatihan itu menyambung program Art School yang pernah dirintis Illuminator pada Juli 2011.
Pendirian sekolah tersebut untuk menampung minat para pengunjung pameran karya-karya komunitas Illuminator di Galeri Padi, pertengahan 2010 lalu, yang ingin bisa menggambar artwork. Kelas menggambar di daerah Cicukang, Ujung Berung, itu sempat berjalan tiga bulan dengan 20 orang murid, dari kalangan pelajar hingga pekerja. Namun kemudian kelas berhenti di tengah jalan karena belum siap kurikulum dan kontrakan rumah keburu habis. "Padahal peminatnya banyak, dari luar kota Bandung juga tertarik ikut," kata Dinan, salah satu pembentuk komunitas di sarang musisi underground Ujung Berung, Bandung, itu.
Illuminator berasal dari gabungan kata ilustrator dan terminator. Artinya, penggambar yang ingin menghancurkan batasan dalam berkarya. Kelompok seniman artwork itu dibentuk oleh Didin Krisnaendy Purwanda Supartawidjaya alias Dinan, Ivan Nugraha atau Ken Terror, serta Gencuy yang bernama asli Cucu Somantri pada 2009.
Karya para anggota komunitas itu kini tak lagi hanya dipesan untuk pembuatan sampul album band metal dan kaus bagi para penggemarnya, tapi juga dipakai untuk ilustrasi buku, gambar pakaian, serta tas.
Pemesan artwork tak cuma dari Bandung dan kota-kota yang punya band metal di Indonesia. Dalam kurun lima tahun terakhir, jangkauannya sudah meluas ke kawasan Asia Tenggara, hingga Amerika dan Eropa. Di antaranya untuk sampul album Atribute to Metallica, Disforia, Damagged, dan Mortal Decay. "Transaksinya bisa jual putus atau royalti," kata Dinan. Harganya berkisar Rp 450 ribu hingga jutaan rupiah. Hubungan dengan band itu terbuka lewat pemampangan karya di blog pribadi atau jejaring sosial Internet.
Pasar dan peminat karya artwork terbuka lebar di dunia maya. Lagi pula, kata Dinan, sebuah band biasanya jarang memakai artwork dari seorang ilustrator terus-menerus supaya ada kesegaran dan kebaruan. Beberapa kali, kata Dinan, ia melimpahkan pesanan ke ilustrator lain. Agar juga tak kewalahan menerima pesanan, Illuminator merasa perlu menyiapkan penggambar artwork baru yang tidak langsung jadi, melainkan lewat proses dari dasar. "Syarat pertamanya, dia harus menyukai musik metal," ujarnya.
Gambar terbentuk dari deru musik, tema lagu, atau rangkaian lirik yang gelap, beraroma kematian, kemarahan atau teriakan ketidakpuasan disertai makian. Alhasil, gambar artwork jadi tak lazim, hingga berlawanan dengan sosok sempurna. Sosok-sosok fantasi dengan aneka wajah dan tubuh rusak serta bengis seperti zombie, malaikat maut, atau penghuni neraka, kerap menjadi tokoh, misalnya pada peristiwa pembantaian manusia.
Di kalangan pecandu musik metal, gambar yang seram dan sadis itu sudah terlihat lumrah. Sejak dua hingga tiga dekade silam, artwork seperti itu misalnya telah diusung band-band metal dunia, seperti Manowar atau Iron Maiden.
Bagi Addy Gembel, vokalis band Forgotten, sadisme dan ketelanjangan adalah sesuatu yang puitis. Karena ada sebuah metafora yang coba dieksplorasi secara detail melalui tubuh dan aneka makhluk yang sengaja diciptakan. Di sisi lain, artwork juga bermakna sebagai bentuk protes dan kritik sosial. "Buat saya, artwork juga untuk mengingatkan hidup kita di dunia dan di alam selanjutnya," kata anggota Illuminator, Yusep Sutrisna.
Di Bandung sendiri ada fenomena menarik. Sejak tragedi konser musik band Beside di gedung Asia Africa Culture Centre Jalan Braga 2008 lalu yang menewaskan belasan penonton, banyak band metal yang tiarap. Mereka belum bubar, tapi sulit berpentas karena terganjal izin dari kepolisian, hingga seret menggarap album baru. Walau begitu, kata Dinan, merchandise kaus band-band metal lokal bergambar artwork seharga Rp 120-150 ribu sampai hari ini selalu ludes diburu. "Sekitar 10 distribution outlet (distro) juga ikut memajang karena barang selalu habis," kata vokalis band Necromansy dan Sonic Torment itu.
Kaus metal itu biasanya hanya dibuat terbatas 100 potong. Keuntungan penjualan dari penggemar itu dipakai untuk menghidupi band-band lokal berpentas di dalam atau di luar negeri, juga menggarap album baru. Bentuk lain dukungan komunitas bawah tanah Bandung agar musik metal tak mati, yaitu dengan cara membanjiri konser yang sudah terhitung jarang setiap tahun. "Paling sedikit 40 ribu penonton ada," katanya.
Komunitas Illuminator kini tengah menggalang dana untuk pendirian Saung Metal di Cicukang, Ujung Berung. Aksi jangka panjang, hingga dua tahun, tersebut untuk membeli tanah seluas 1,5 hektare. "Kami ingin mendirikan tempat untuk diskusi tentang musik metal, belajar gambar artwork dan kesenian tradisional, juga galeri untuk komunitas metal," ujarnya.
Dana yang dibutuhkan sekitar Rp 2 miliar. Sejak tiga pekan lalu tiap Ahad di Jalan Dago, mereka membuka kotak donasi yang boleh diisi selembar uang Rp 2.000 dari tiap penyumbang. Kotak itu juga bakal diedarkan di setiap konser musik metal. Ia berharap komunitas metal di Bandung yang tercatat sebagai kelompok terbesar di Asia Tenggara bisa mewujudkan mimpi lama para musisi underground itu.
ANWAR SISWADI