KOMPAS.com - Dalam masa kampanye, begitu sering kita dengar pemimpin ataupun calon pemimpin menjanjikan perubahan-perubahan yang akan dilakukan. Pada kenyataannya, meskipun sudah diupayakan dengan berbagai cara, perubahan kerap belum bisa memberi hasil seperti yang diharapkan. Korupsi malah semakin merajalela di tengah upaya-upaya pemberantasan korupsi. Penjara sudah menjadi pusat kegiatan kejahatan lain, bahkan para penegak hukum kerap menjadi pesakitan di dalam pengadilan itu sendiri.
Fakta mengenai pembodohan bangsa sering diungkapkan dan semakin menguatkan anggapan bahwa bangsa ini kerap mengalami kemacetan dalam bergerak maju. Situasi ini memicu orang untuk berkomentar, "Kapan bangsa ini mau maju?". Ya, kita memang kerap merasa frustrasi dan menemui jalan buntu, seolah "poco-poco", maju-mundur dan jalan di tempat, tidak bisa berubah. Mengapa perubahan sulit terjadi? Bukankah selain tumbuh pesatnya para profesional, kita juga menyaksikan kecerdasan anak anak yang sudah sangat berbeda dengan keadaan 50 tahun yang lalu. Apa yang salah?
Perubahan di dalam perusahaan pun kita saksikan sama alotnya. Para atasan sering berjanji untuk lebih banyak mendengar pendapat anak buahnya, namun dalam kenyataannya tetap saja arogan dan mau menang sendiri. Di dunia olah raga, para coach juga sulit mempengaruhi para pemain untuk berlatih lebih keras dan lebih sering. Semakin diarahkan untuk memikirkan perubahan, kita malah sering merasa "melawan" perubahan. Dalam sebuah pelatihan, ketika dilakukan "drilling" untuk memperkenalkan suatu produk, instruksi dari pelatih untuk tidak menata kata-kata melalui pikiran, justru membuat seorang peserta pelatihan lebih lancar dalam menyampaikan deskripsi produknya. Seorang coach di lapangan olah raga juga kerap melarang coachee-nya untuk terlalu banyak berpikir pada waktu melancarkan pukulan. Mungkinkah pikiran justru menghambat orang untuk berubah?
Knowing-doing gap Jeffrey Pfeffer, pengarang buku The Knowing-Doing Gap, membuktikan dalam berbagai risetnya, bahwa ide-ide cemerlang memang banyak sekali diungkapkan, diusulkan, direncanakan, baik di buku-buku, presentasi, maupun di rapat kerja perusahaan. Namun, pada kenyataannya rencana-rencana tersebut sangat minim implementasinya. Peter Drucker pun mengungkapkan bahwa: "The problem in my life and other people's lives is not the absence of knowing what to do, but the absence of not doing it". Hampir semua orang tahu bahwa pembuatan laporan memudahkan pengambilan keputusan dan diperlukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Namun, berapa persen individu di perusahaan yang terlambat menyetor laporan, bahkan tidak membuatnya sama sekali? Penyebab kesenjangan antara "knowing" dan "doing" ini adalah penyakit mental.
Bila kita kebetulan sedang mengalami kesuksesan, katakanlah sesudah presentasi dan akhirnya diluluskan permintaannya, kita langsung akan melihat kegiatan itu sebagai kegiatan yang "fun", tidak perlu banyak tenaga. Pada saat itu pikiran kita tenang, otot-otot kita terasa relaks. Apa yang terjadi bila kita tidak berhasil? Semua yang kita lakukan akan memenuhi isi pikiran kita, dan kita pun otomatis mengevaluasi dan memikirkan apa yang salah dan bagaimana perbaikannya. Semakin dipikirkan, semakin tubuh tidak bisa relaks dan semakin sulit untuk mengerjakan pekerjaan dengan baik.
Situasi "underpressure" inilah yang membuat pengetahuan semakin kuat dalam pikiran individu, namun di saat yang sama membelenggu kekuatan internal dalam diri individu. Betapa kita sering menyaksikan individu yang bila berada di bawah tekanan menjadi gagal mengulang instruksi, dan lupa cara melakukan tugas yang diberikan kepadanya. Apa yang kita tahu, bahkan terlalu kita tahu, justru bisa merusak keyakinan, melemahkan motivasi, dan membuyarkan fokus kita. Jadi, pengetahuan bisa menghambat individu dalam bergerak. Ini berarti menjejali pengetahuan tanpa membangun rasa percaya diri dan emosi positif membuat perubahan menjadi sulit terjadi.
G.R.O.W Tekanan mental yang menghambat individu untuk melakukan tindakan perubahan perlu kita bongkar agar kita bisa memfokuskan pikiran kita ke tingkah laku yang kita harapkan. Bila kita rajin melatih fokus kita pada tindakan, tanpa kita sadari kita sudah di rel yang tepat untuk berubah. Dalam ilmu coaching, kita tentu mengenal skema "Goal-Reality-Opportunity dan Way Out (GROW)", yang bisa membantu kita untuk lebih fokus. Pertama, fokus hanya mungkin terjadi bila kita jelas akan sasaran (Goal) yang ingin kita raih Setelah itu, kita perlu melihat kenyatannya (Reality) secara obyektif. Bila kita tidak sadar tingkah laku mana yang perlu diubah, berarti kesadaran akan realitas yang perlu kita pertajam. Langkah selanjutnya adalah membaca situasi (Opportunity) untuk menemukan cara untuk bergerak dari realitas saat ini ke sasaran (Goal) yang kita inginkan. Dan terakhir adalah penentuan "action" (Way Out) yang akan kita lakukan, beserta timing dan deadline-nya.
Proses ini sepertinya sederhana, namun tantangannya adalah kita cenderung "poco-poco" atau mundur maju antara Goal dan Reality, sehingga tidak maju-maju. Kritik, gosip, celaan, adalah bentuk realitas yang sebenarnya perlu ditindaklanjuti, bukan dierami. Rasa tidak puas kita terhadap karier, suasana kantor, atau realitas apapun, perlu digerakkan maju, sesuai dengan sasaran kita. "There are many ways of allowing your thinking to get in the way of your performance and learning, but they all amount to conversations you are having with yourself within your own head," demikian menurut Timothy Gallwey.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber: Kompas Cetak