AGNES ARISTIARINI
Hingga lebih dari seabad autisme dikenali, para ahli belum juga menemukan metode yang mujarab untuk mengatasinya. Penyebabnya yang multifaktor, terutama psikologis dan biologis, membuat upaya penanganan menjadi lambat.
Karena itu, setiap kali ada perkembangan pemahaman tentang autisme, publik selalu menyambut antusias. Data statistik menunjukkan, semakin banyak anak yang dideteksi menyandang autisme.
Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (CDC)—bekerja sama dengan Asosiasi Dokter Anak Amerika Serikat—akhir Maret lalu, menyebutkan, satu dari setiap 88 anak di AS menyandang autisme dalam berbagai level.
Terus meningkat
Studi di Asia, Eropa, dan Amerika Utara mengidentifikasi prevalensi autisme mencapai 1 persen, bahkan di Korea Selatan dilaporkan prevalensinya 2,6 persen. Kasus autisme juga terus meningkat di Indonesia. Kalau 15 tahun lalu persentase autisme adalah 4 kasus dari 10.000 kelahiran, sekarang angka ini meningkat menjadi 20 kasus berbanding 10.000 kelahiran.
Autisme—berakar dari autos, kata dalam bahasa Yunani yang berarti sendiri—mendeskripsikan kondisi seseorang yang menarik diri dari interaksi sosial dan mulai dipakai awal 1900-an. Masalah ini menjadi salah satu gangguan perkembangan yang tumbuh paling cepat di seluruh dunia saat ini.
Berbagai faktor bisa menjadi pemicu, seperti kekurangan oksigen, protein, energi, dan zat-zat mikro. Demikian pula keracunan alkohol, kokain, merkuri, aluminium, timbal, juga radiasi, dan infeksi kehamilan menjadi penyebab lainnya.
Pengaruh berbagai faktor itu membuat pola pertumbuhan otak berubah. Volume otak berkembang lebih besar dengan kelainan pada hampir semua strukturnya, baik di sistem limbik yang mengatur emosi, penghubung otak kiri dan kanan, otak kecil, lapisan otak luar besar, maupun ganglia basalis dan batang otak.
Tidaklah mengherankan bila ciri-ciri autisme terkait dengan kemampuan otak: gangguan pada interaksi sosial, komunikasi, selain keterbatasan minat, dan imajinasi. Panca indra pun sering bermasalah dalam menerima rangsangan, termasuk sensor motoriknya. Perkembangan penelitian menunjukkan, spektrum gangguan autisme ini amat luas dengan gejala, kualitas, dan kuantitas yang khas pada setiap anak.
Pertengahan tahun ini tim dari RS anak di Boston, AS, sukses menggunakan electroencephalography (EEG) untuk mendeteksi dini gejala autisme. Metode EEG berhasil mendeteksi 33 pola spesifik EEG terkait autisme, yang amat membantu penegakan diagnosis sebelum usia tiga tahun sehingga bisa segera diintervensi.
Sebelumnya, para peneliti di Oxford yang menulis di jurnal Nature, mengabarkan keberhasilan mereka menemukan 300 gen—termasuk gen yang berperan mengembangkan koneksi di antara sel-sel otak—yang terlibat dalam gangguan tumbuh kembang ini lewat serangkaian uji genetik.
Pil baru
Menjelang akhir tahun 2012, kabar baik kembali terdengar. Masih dalam tahap percobaan, para ahli telah mengembangkan pil yang mampu memperbaiki gejala khas autisme: keterbatasan kemampuan berkomunikasi.
Dalam Scientific American terbaru, edisi November 2012, diuraikan tentang sindrom fragile X, suatu gangguan pada salah satu lokus dalam otak sehingga neuron terlalu banyak mengandung glutamat. Neuron adalah sel pengantar informasi dalam sistem saraf, sedangkan glutamat adalah asam amino yang berasal dari protein yang berfungsi sebagai neuro-transmitter: merangsang neuron mengirimkan informasi ke dan dari otak.
Glutamat biasanya berperan dalam proses belajar dan memori. Hasil penelitian menunjukkan, orang-orang dengan fibromyalgia, yaitu gangguan yang memicu rasa sakit dan emosi berlebih, memiliki kadar glutamat jauh di atas normal di bagian otak yang disebut insula. Insula berperan mengatur perasaan, kecemasan, kemampuan motorik, gangguan makan, dan ketergantungan atau adiksi.
Obat yang diharapkan itu, disebut GRN-529, sukses diuji pada tikus yang khusus dibiakkan dengan sindrom fragile X. Sindrom ini karakteristiknya mirip dengan autisme, termasuk kebiasaan mengulang-ulang sesuatu serta ketidakmampuan berkomunikasi dan bersosialisasi. Setelah diinjeksi GRN-529, tikus-tikus itu menunjukkan perbaikan signifikan dalam tingkah lakunya. Mereka tidak lagi mengulang-ulang dan mau berkumpul dengan kelompok tikus lainnya.
GRN-529 memang ditujukan untuk menyeimbangkan kadar glutamat. Seperti yang diuraikan dalam Science Translational Medicine (April 2012), keberhasilan itu menguatkan harapan bahwa obat ini juga bisa mengatasi autisme. Namun, beberapa peneliti lain mengingatkan, GRN-529 mungkin belum akan optimal mengatasi autisme karena karakteristik perkembangan otak yang lebih rumit pada penyandang autisme.
Namun, perjalanan obat ini masih panjang. Selain masih ada ganjalan tentang sulitnya mendesain obat penarget glutamat dengan efek samping minimal, ada persoalan lain, yakni pada usia berapa penggunaan obat ini memberikan manfaat paling besar.
Meningkatkan kualitas
Upaya menyembuhkan penyandang autisme menjadi signifikan karena mereka menghadapi begitu banyak persoalan. Menurut The National Autistic Society, ketidakmampuan bersosialisasi membuat lebih dari 40 persen anak penyandang autisme diganggu murid lain dan bahkan tidak dipahami guru.
Di AS, biaya untuk menangani autisme mencapai 60 miliar dollar AS setahun, 60 persen di antaranya untuk mendukung penyandang autisme usia dewasa. Apalagi, hasil penelitian menunjukkan, hanya 56 persen pelajar penyandang autisme yang dapat menyelesaikan SMA-nya. Namun, biaya ini bisa dikurangi hingga dua pertiga bila ada diagnosis dan intervensi dini.
Maka, saat ini yang terpenting tidak hanya dukungan orangtua, tetapi juga lingkungan agar mereka bisa mengembangkan diri. Tidak mudah, tetapi tidak mustahil dilakukan.