BANDUNG, KOMPAS - Penderita gangguan penglihatan berupa low vision, terutama anak-anak, perlu diedukasi. Rehabilitasi tak bisa mengembalikan penglihatan. Makin dini gangguan diketahui dan diperiksakan, penderita bisa cepat mendapat alat bantu yang sesuai dan beradaptasi dengan maksimal.
Hal itu disampaikan Shiane Hanako, Manajer Syamsi Dhuha Foundation (SDF), LSM nirlaba yang memberi perhatian khusus kepada penyandang low vision, di Bandung, Sabtu (6/10). Bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kota Bandung, SDF menggelar edukasi low vision bagi 150 guru SD. Edukasi dalam rangka peringatan Hari Penglihatan Sedunia 2012 yang jatuh tiap Kamis kedua bulan Oktober.
Menurut Shiane, para guru SD diharapkan jeli dan peduli mengenali tanda dan gejala kelainan penglihatan pada muridnya.
Pemerhati low vision dari RS Mata Cicendo, Bandung, Ine Renata Musa, mengatakan, jumlah penyandang low vision di dunia mencapai 245 juta orang.
Low vision adalah gangguan penglihatan dan lapang pandang menetap setelah melalui tindakan pengobatan dan atau operasi maksimal. Katarak; kelainan refraksi; glaukoma; kelainan kornea, retina, saraf mata; dan efek samping obat merupakan penyebab gangguan penglihatan. Sebanyak 80 persen dapat dicegah atau diobati dengan obat, operasi, kacamata standar, dan lensa kontak.
Diperlukan edukasi dan sosialisasi deteksi dini kelainan penglihatan, terutama pada anak. Di antaranya, membaca dan menonton televisi dengan jarak sangat dekat; kesulitan mengenali wajah, makanan di piring, menaiki tangga; sering tersandung jika berjalan; dan kesulitan lain dalam aktivitas sehari-hari.
Evaluasi diperlukan untuk menentukan alat bantu yang dibutuhkan, berupa alat bantu optik (lensa pembesar) ataupun non-optik (buku tulisan besar). Dengan alat bantu, penderita dapat memaksimalkan penglihatan sehingga percaya diri, mandiri, dan lebih bermakna. (DMU)