KOMPAS.com - Kita tidak bisa menutup mata betapa komunikasi dalam organisasi sering "tidak kena", tidak ber-impact. Di sebuah perusahaan, ketika sesi sosialisasi mengenai prosedur perusahaan berakhir, banyak karyawan yang bergumam, "Oh, hanya ini yang dibicarakan? Kalau hanya arah perusahaan dan peraturan baru, kita bisa baca sendiri di intranet...."
Dalam banyak sesi komunikasi, di mana atasan bertemu dengan bawahan, meskipun sudah dalam situasi tatap muka "one on one" , atau coaching sekalipun, tak jarang komunikasi tetap terasa dingin, formal, tidak sampai "hati ke hati". Ujungnya, sosialisasi dan coaching, juga berbagai interaksi komunikasi lain, tidak menjadi hal yang ditunggu-tunggu, malahan dirasa berat, dihindari dan berjarak.
Kita tentu juga pernah melihat situasi di mana atasan menugaskan orang lain untuk menegur seseorang, "Anda yang lebih dekat dan tahu tentang dia, Anda sajalah yang bicara." Ini adalah gejala, di mana komunikasi dianggap sebagai suatu hal yang bisa didelegasikan, tanpa berpikir bahwa absennya komunikasi sudah pasti akan menghasilkan kerenggangan hubungan antara si empunya berita dan penerimanya.
Ya, komunikasi memang bisa didelegasikan, tetapi hubungan interpersonal, tidak bisa. Hubungan interpersonal "man to man" hanya bisa dilakukan oleh pelakunya. Tidak mungkin, hasil dari komunikasi si B dan Si C bisa menghasilkan kentalnya hubungan interpersonal antara si A dan si C. Komunikasi ini menjadi sangat krusial, apalagi bila tujuan kita dalam komunikasi, bukan sekadar menyampaikan berita, tetapi juga untuk kepentingan lain, seperti perbaikan kinerja, perbaikan hubungan, ataupun perubahan tingkah laku.
Kita memang sepenuhnya sadar perlunya memperkuat komunikasi. Seringkali tantangan ini kita jawab dengan menambah medianya, baik itu melalui intranet, web, bahkan twitter, serta segala upaya untuk menampung curhat karyawan. Kita tentu bertanya-tanya, apakah komunikasi begini tetap tidak cukup? Memperbanyak frekuensi, media dan sarana komunikasi tentu adalah upaya positif, namun pertanyaan sesungguhnya adalah apakah kita menjawab apa yang diharapkan karyawan? Apakah komunikasi yang kita upayakan bisa menyentuh emosi, memotivasi, menggerakkan, membuahkan "hubungan", serta meningkatkan engagement seperti yang diidam-idamkan?
Komunikasi plus spirit
Kita tahu bahwa kinerja perusahaan tergantung pada kinerja manusianya. Kinerja manusia ini sangat bergantung pada motivasinya. Motivasi bisa timbul-tenggelam. Saat motivasi tinggi, maka kinerja yang dihasilkan akan memberi impact dan loyalitas pelanggan berlipat ganda. Ini berarti keberhasilan komunikasi tidak bisa lepas dari agenda motivasinya.
Setiap leader dan coach harus sadar betul betapa komunikasi adalah kesempatan menyentuh rasa dan merupakan nadi motivasi. Di lembaga yang besar, perusahaan ataupun negara, anggota kelompok, karyawan atau rakyat, bisa kehilangan motivasi bila tidak mendengar sendiri harapan, mimpi, prioritas, dan keyakinan pemimpinnya.
Kita juga tidak boleh lupa betapa komunikasi perlu diberi bobot emosi agar bisa menjangkau penerima beritanya. Tuntutan, instruksi, informasi terkini, perencanaan, bisa membentuk "sense of security", respek, kekuatan, dan kemampuan untuk mengontrol pendengarnya. Apabila organisasi dalam situasi krisis, maka "suara perusahaan" perlu disampaikan secara langsung oleh pemimpinnya, agar para pendengar terdorong untuk berani, merasa ditemani, dan tahu ia tidak ditinggalkan sendiri.
Bermutu tidaknya komunikasi memang banyak bergantung dari sikap komunikatornya. Komunikator yang menginginkan excellence akan memperhatikan sikapnya dalam berkomunikasi. Ia akan memilih media, kata-kata, intonasi, dan volume yang tepat. Ia akan menghilangkan sikap yang mengecilkan hati dan menyurutkan minat.
Seorang atasan yang menginginkan perbaikan kinerja akan dengan cermat memilihkan prinsip dan teknik yang bisa men-support bawahannya. Bahkan tanpa ragu ia akan mengekspresikan tough love dalam komunikasinya seperti, "Some of the things I'll tell you may be hard to swallow, but they will also be good medicine." Inilah yang kita namakan komunikasi yang berbobot, karena dimuati dengan spirit, emosi, dan kekuatan pembicaranya.
Cuaca komunikasi dalam "coaching"
Cuaca komunikasi sangat bisa kita rasa dan raba. Kita tentu bisa merasakan bila antara satu orang dengan orang lainnya di dalam tim tidak ada koneksi atau hubungan batin. Bisa saja seluruh anggota tim secara fisik ada bersama di dalam rapat, namun diskusi yang terjadi terasa tidak tulus, tidak ada kontak mata, penuh basa-basi, dan tidak dilakukan "sepenuh hati". Kita tentu bisa membayangkan betapa organisasi dengan suasana seperti ini pasti tidak menyenangkan dan akan sulit berfungsi optimal. Coaching pun pastinya akan menjadi tantangan berat dalam cuaca komunikasi seperti ini.
Dalam bukunya The Leadership Experience, Richard L. Daft dan Patricia G. Lane memberi kiat mengupayakan cuaca komunikasi yang positif. Keterbukaan sudah pasti fokus utama untuk memperbaiki cuaca komunikasi ini. Hal yang perlu dilakukan, pertama-tama, birokrasi perlu ditinjau kembali. Bila atasan masih dipandang sebagai simbol kekuasaan dan bukan sebagai sumber pengetahuan dan keahlian, maka rasa enggan untuk berhubungan pasti akan muncul.
Keterbukaan juga penting untuk mengikis rasa gengsi antar bagian. Kita bisa mengupayakan keterbukaan, misalnya dengan transparansi data kinerja. Bila ini dilakukan, kita bisa berharap akan munculnya keinginan untuk membahas strategi perusahaan bersama, meningkatkan produktivitas, dan juga, mengembangkan kebiasaan coaching dan mentoring yang intensif.
Keterbukaan berarti juga kesiapan untuk "mendengar" dengan perhatian penuh. Saat setiap bawahan diberi kesempatan mengemukakan sasaran, frustrasi dan perasaannya, sampai tuntas, tidak hanya hubungan yang lebih baik akan terbentuk, namun motivasi diri untuk berkontribusi dan mendukung visi organisasi pun akan hadir dan menjadi motor bagi individu untuk berkinerja. Seorang coach adalah "pawang cuaca" situasi kerja ini.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini