KOMPAS.com - Biliar berangsur-angsur memahat karakter Angie sedingin boneka salju. Mengunci konsentrasi adalah kepiawaian dia. Sebaliknya, senyum jenakanya bisa membuyarkan konsentrasi orang yang memandang....
Dialah Angeline Magdalena Ticoalu (28) atau panggil saja Angie. Dia atlet biliar yang kini tergabung dalam pemusatan latihan nasional. Media massa terkadang tidak mampu menahan diri untuk tidak menyinggung paras manisnya dalam ulasan olahraga. Misalnya saja seperti judul sebuah berita: "Pebiliar Cantik Raih Emas untuk DKI Jakarta". Aha....
Namun lihatlah sosok Angie sehari-hari. Gaya dan tindak-tanduknya tidak mengesankan dirinya merasa cantik. Di luar arena pertandingan pun ekspresi dia cenderung datar, sorot mata bak kristal es, nada bicara landai dan lugas, tiada basa-basi atau pura-pura. Gadis ini bukan pula tipe pengumbar senyum kepada orang yang belum akrab.
Kami jumpa pertama kali suatu malam di De Stars Biliar Festival di Pasar Festival, Kuningan, Jakarta. Wajahnya polos tanpa riasan, kaus polo, jins belel berpotongan bootcut, dan sepatu sneakers. Rambut bob lurus hingga di bawah dagu dia biarkan tergerai, seperti tirai yang membingkai wajah imutnya yang senantiasa serius.
"Dulu waktu remaja, aku memang kayaknya lebih riang. Sekarang jadi begini karena sudah telanjur terlatih mengendalikan emosi dan terbiasa pasang poker face saat bertanding," ucap Angie.
Olahraga dan gaya hidup
Biliar merupakan perpaduan olahraga, hiburan, dan gaya hidup. Angie bekerja keras. Dedikasi dan prestasinya sebagai pebiliar membuat dirinya patut diperhitungkan. Atlet biliar dari DKI Jakarta ini terakhir kali memborong tiga medali emas pada Pekan Olahraga Nasional XVIII di Pekanbaru, 2012, masing-masing dari nomor individual 8 ball dan 9 ball serta nomor double mix 10 ball putra-putri bersama rekannya, Siauw Wie To. Sejauh ini, 14 medali emas telah dia gondol dalam sejumlah turnamen, belum lagi medali perak dan perunggu. Pada SEA Games Ke-24 di Thailand tahun 2007, Angie memboyong medali emas dalam nomor 8 ball women single.
Kini, hari-hari Angie dipadati jadwal latihan intensif dalam rangka persiapan menjelang SEA Games Ke-27 di Myanmar, Desember 2013. Selain berlatih di Gelora Bung Karno, Angie juga berlatih di Pasar Festival.
Obrolan awal kami lalu tertunda sebentar untuk pemotretan. Angie bersalin pakaian dan mulai mencoba merias wajahnya. "Aku enggak bisa dandan, nih. Waduh, enggak bawa cermin pula. Bisa pinjam?" tanya Angie.
Tak lama, Angie menghampiri meja biliar kesayangannya. Tubuh rampingnya dibalut gaun terusan bercorak setinggi lutut. Sebagian kulit tubuhnya tampak lebih gelap, sisa kecupan matahari. "Sebelum Natal kemarin sempat liburan enam minggu di Flores dan Toraja. Aku lebih senang panas, senang di bawah Matahari," ujar Angie.
Walau selalu serius saat mengobrol, selama pemotretan itu barulah senyumnya bermekaran, bahkan tak terbendung. Sorot matanya menjadi jenaka saat tersenyum lebar. Sepertinya Angie menganggap lucu dirinya sendiri yang harus dipotret dalam penampilan feminin di tepi meja biliar. "Duh, enggak bisa (ekspresi) serius nih," ujarnya disambung derai tawa geli.
Terlengkapi
Stik biliar tampak sudah seperti separuh jiwa Angie. Biliar memang panggilan hidup dirinya sejak 12 tahun lalu. Ketika itu, Angie masih berseragam putih abu-abu, siswa kelas 1 di SMA 3 Jakarta. Sepulang sekolah, masih berseragam, bersama teman-teman laki-laki, Angie nongkrong di arena biliar. Beberapa lokasi dia sambangi, di antaranya Arena di Bengkel Night Park di kawasan SCBD Jakarta. Tempat itu kini tutup. Seorang penggemar biliar kemudian membaca bakat Angie.
"Namanya Turin. Dia yang menawarkan diri untuk mengajariku. Sepulangnya di rumah, aku gambar pelajaran dari dia. Dan entah kenapa, semua itu bener-bener nempel di kepala," kenang Angie.
Semenjak itu, Angie berangsur-angsur tercerahkan, biliar bisa melampaui sekadar hobi. Olahraga dari cabang akurasi yang menuntut konsentrasi pikiran ini membuat diri Angie merasa terlengkapi. "Saya lantas tersadar, ini panggilan saya. Saya sejak itu tahu mau apa, mau jadi apa," kata Angie teguh.
Keinginan si bungsu dari empat bersaudara ini tak semulus gelindingan bola di landasan biliar. Kedua orangtuanya sempat keberatan. Terlebih pandangan awam terhadap penggemar biliar yang dianggap sekadar tukang nongkrong tak berketentuan.
Akhirnya, bakat dan ketekunan Angie berlatih membuat tawaran bergabung ke pemusatan latihan daerah DKI Jakarta menghampiri dirinya. Alhasil, selama satu dekade terakhir, hidupnya diwarnai pertandingan baik di dalam maupun di luar negeri. Satu per satu prestasi mengiringi langkahnya membuat kedua orangtuanya memberi dukungan. Berbekal restu orangtua, sodokan stik Angie kian mantap.
Melawan diri sendiri
Kendati tak terlihat banyak menggerakkan tubuh, ini bukan berarti bermain biliar tak menguras energi. "Biasanya kalau terus-terusan bermain keras, kelar main, kepala saya terasa panas beneran," ujar Angie sembari memasang telapak tangannya beberapa sentimeter di atas puncak kepala.
Hawa panas yang secara harfiah terasa di sekitar tempurung kepalanya itu, bagaimanapun, tak lantas menjajah emosinya. Angie terlatih mengendalikan emosinya secara konsisten.
"Biliar itu sebenarnya melawan diri sendiri. Dengan lawan main, kan, kita tidak berhadapan langsung, tetapi bergiliran. Saya juga harus selalu fokus ke depan, bukan apa yang telah terjadi. Yang sudah, sudah. Jangan kepikiran, misalnya, kenapa bola tadi enggak masuk. Pikir saja ke depan taktik harus bagaimana," tutur Angie.
Prinsip bersikap itu yang lantas termanifestasi dalam wajahnya. "Ya begitu, bola masuk atau enggak masuk, pasang poker face saja walaupun menjadi ekspresif pun enggak dilarang. Tapi kalau emosional, biasanya malah merugikan diri sendiri," ujar Angie.
(Sarie Febriane)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini