KOMPAS.com - Kadang-kadang, kehamilan datang tak terduga. Entah karena Anda merasa dua anak sudah cukup (sehingga tidak merencanakannya lagi), karena Anda belum berniat mempunyai anak, atau karena tidak menduga bahwa di usia lebih dari 40 tahun tiba-tiba Anda menyadari telah mengandung.
Kehamilan tersebut memang bukannya tidak diinginkan, melainkan tidak direncanakan. Namun, situasi tersebut tetap membuat Anda syok, tidak percaya, panik, malu, kesal, merasa bersalah, menyesal, tapi mungkin juga bahagia. Ada rasa khawatir karena merasa sudah "lupa" bagaimana mengurus anak. Atau rasa takut tak dapat memenuhi biaya kehidupannya kelak. Bisa juga karena merasa belum siap mempunyai anak, takut tidak bisa menjadi orangtua yang baik.
Kasus semacam ini sebenarnya sering terjadi. Setiap tahun, sekitar separuh dari separuh kehamilan di Amerika merupakan kehamilan yang tidak direncanakan. Bahkan, lebih dari separuh perempuan Amerika mengalami kehamilan tak direncanakan di usia menjelang 45 tahun.
Perasaan campur aduk yang ditimbulkan akibat kehamilan tak terduga ini wajar saja terjadi.
"Perasaan yang campur aduk seperti itu tidak membuat Anda menjadi ibu yang buruk, kok," ujar Lara Honos-Webb, PhD, ADHD, psikolog yang berpraktik di Walnut Creek, California.
Menurutnya, stres dalam kadar yang rendah tidak berbahaya, sehingga Anda tidak perlu khawatir emosi Anda akan menyakiti janin. Bahwa kemudian ibu hamil jadi merasa tak mampu membentuk bonding dengan si bayi, itu juga biasa. Hanya saja ketika Anda merasa tidak mampu menghadapi kehamilan tersebut, atau jika Anda mulai menyalahkan kehadiran si bayi, Anda perlu berkonsultasi dengan dokter atau psikiater. Bisa jadi, Anda mengalami depresi.
Cari bantuan
Untuk mampu menerima kehamilan yang tidak direncanakan, Anda memang butuh waktu, ruang, dan keluarga yang mendukung Anda. Peristiwa seperti ini bukan sesuatu yang bisa Anda atasi dalam semalam.
"Anda perlu mengatasi apa yang Anda rasakan secara aktif. Anda bisa berbicara dengan pasangan lain yang mengalami hal yang sama, untuk mencari tahu bagaimana mereka menghadapi masa-masa sulit tersebut," ujar Ann Douglas, penulis buku The Mother of All Pregnancy Books (Wiley).
Misalnya saja, yang akan terkejut dengan kehamilan itu pasti bukan hanya Anda, tetapi juga suami, anak-anak (jika mereka sudah dewasa), orangtua, dan mungkin teman-teman di kantor. Reaksi mereka pun mungkin akan berbeda-beda. Ada yang mendukung, ada juga yang mungkin menyalahkan. Namun setelah rasa terkejut perlahan mulai memudar, Anda dan suami bisa mulai membahas rencana yang akan diambil jika anak sudah lahir nanti.
Reaksi suami umumnya lebih kepada bagaimana harus menghidupi keluarga dengan tambahan anggota yang baru, dan merasa ditinggalkan pasangan karena Anda pasti akan lebih berfokus pada bayi. Reaksi kaum perempuan justru kebalikannya; mereka akan berasumsi bahwa keterkejutan suami merupakan tanda tidak adanya dukungan dari mereka.
Untuk itulah, suami-istri harus saling berbicara mengenai kebutuhan dan keinginan mereka. Honos-Webb mengatakan, untuk meyakinkan suami, Anda perlu mengingatkan bahwa setelah trimester pertama, koneksi antara Anda dan si bayi pasti akan lebih mudah. Pada saat itu, Anda akan mampu kembali memusatkan perhatian pada suami.
Honos-Webb menambahkan, cara untuk mengubah sikap kita mengenai kehamilan tersebut adalah dengan mengubah pertanyaan-pertanyaan yang Anda lontarkan pada diri Anda. Misalnya, tak perlu bertanya siapa yang harus disalahkan dengan terjadinya kehamilan ini, atau apa yang Anda lakukan sehingga kehamilan ini terjadi.
"Tanyalah pada diri Anda, apakah Anda baik-baik saja, apa yang Anda butuhkan, dan bagaimana Anda dapat membuat diri Anda nyaman," ujarnya.
Pertanyaan atau pikiran-pikiran yang muncul dalam pembicaraan dengan suami sebaiknya yang berorientasi pada solusi. Selain itu juga bagaimana agar Anda dapat terus melanjutkan kehidupan Anda, dan bukan melihat kembali ke belakang untuk mencari-cari kesalahan.
Sumber: fitpregnancy
Editor :
Dini