KOMPAS.com - Produk fashion Indonesia, termasuk busana muslim, dari segi desain mampu bersaing di tingkat internasional. Desainer Indonesia juga memungkinkan tampil di pekan mode dunia, sebut saja London Fashion Week, Paris Fashion Week atau New York Fashion Week. Kreativitas desainer Indonesia tak kalah dengan desainer luar. Meski begitu masih ada hal penting yang perlu dibenahi jika ingin produk lokal semakin diakui dunia, yakni manajemen.
"Desain dan lainnya sebenarnya sudah baik, namun masih kurang dalam manajemen perusahaan. Terutama untuk distribusi. Kalau siap mendunia harus siap dengan manajemen yang tertata rapi sehingga mampu memenuhi kebutuhan orang banyak," ungkap desainer busana muslim, Dian Wahyu Utami pemilik label Dian Pelangi, saat ditemui di pekan mode Indonesia Fashion Week 2013 di Jakarta beberapa waktu lalu.
Dian Pelangi merupakan satu dari tujuh label fashion lokal yang terpilih dalam program kemitraan Indonesia-Inggris di bidang fashion di Jakarta akhir tahun lalu. Selain Dian Pelangi, brand dan desainer yang juga berkesempatan belajar kebutuhan industri mode dunia adalah Albert Yanuar, Barli Asmara, Jeffry Tan, Yosafat Dwi Kurniawan, Bretzel (Imelda Kartini dan Yuliana), Cotton Ink (Carlene Darjanto dan Ria Sarwono), Major Minor (Ari Seputra, Sari Seputra, Inneke Margarethe, Ambar Pratiwi).
Program yang bernama Jakarta Fashion Week Fashion Forward ini merupakan program kemitraan antara JFW, British Council, Centre for Fashion Entreprise (CFE) yang berbasis di London, Inggris, yang mendapatkan dukungan pemerintah Indonesia dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Dian mengatakan, Fashion Forward mendidik dan menggembleng desainer Indonesia untuk bisa menjadi desainer bertaraf internasional. Bagi Dian, penggemblengan ini bisa menjadi batu loncatan untuk mengikuti pekan mode dunia, seperti Paris Fashion Week.
"Kalau bisa masuk di Paris Fashion Week, ini akan jadi kesempatan baik karena belum ada desainer busana muslim di pekan mode ini," ungkapnya.
Sayangnya, Dian Pelangi tak lolos seleksi dan gagal berangkat Maret 2013. Satu hal yang kurang darinya adalah manajemen perusahaan. Dian sebenarnya memiliki potensi besar dengan desain dan karakter rancangan busana muslimnya yang memenuhi selera pasar global. Namun banyak hal yang perlu diperbaiki jika ingin berkiprah secara internasional.
"Manajemen bisnis fashion harus sesuai standar internasional, ini yang kurang. Baik dari produksi, distribusi, pricing," ungkapnya.
Meski belum berkesempatan berkiprah di Paris, busana muslim rancangan Dian masih bisa dinikmati warga dunia melalui cara lainnya. Masih difasilitasi program Fashion Forward, Dian mendapatkan kesempatan terlibat dalam Bangkok Trade Show awal Maret 2013. Selain itu, atas upayanya sendiri memasarkan produk di negara lain, pada 2013 ini Dian juga akan kembali hadir dalam kegiatan fashion atas undangan pihak kedutaan di Melbourne, Praha, dan Kuwait.
Garis rancang Dian Pelangi memenuhi kebutuhan perempuan berhijab di berbagai negara. Ia telah memiliki pelanggan di sejumlah negara terutama di Timur Tengah. Pelanggan terbesarnya di luar negeri berasal dari Dubai, Yordania, Turki, Kairo, dan Arab Saudi. Dian Pelangi juga memiliki satu toko di Kuala Lumpur.
Selain merancang busana muslim bergaya urban, berwarna cerah dan tampilan yang chic, Dian memegang kuat misi utamanya dalam menciptakan busana muslim. "Saya ingin busana muslim harganya terjangkau sehinggga akan semakin banyak orang yang bisa memakainya," tandas desainer berusia 22 ini.
Editor :
wawa