KOMPAS.com - Angka kejadian bayi berat lahir rendah (BBLR) di Indonesia menurut data UNICEF dan WHO tahun 2005 menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu mencapai 30 persen. Padahal bayi dengan BBLR, memiliki risiko kematian 5 kali lebih tinggi dibanding bayi normal. Sehingga, angka yang cukup tinggi ini mempersulit pencapaian tujuan pembangunan milenium (MDGs) terutama pada poin menurunkan angka kematian anak.
Dokter spesialis anak dari Divisi Neonatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (FKUI/RSCM) Risma Kerina Kaban dalam diskusi yang diadakan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pekan lalu di Jakarta mengatakan, untuk mengurangi angka BBLR maka masyarakat perlu memperoleh edukasi tentang faktor-faktor risikonya.
BBLR merupakan bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2.500 gram tanpa memandang usia kehamilan. Pada umumnya, BBLR disebabkan dua faktor yaitu kelahiran prematur dan pertumbuhan janin terhambat (PJT). Kelahiran prematur merupakan kelahiran yang terjadi dengan usia gestasi kurang dari 37 minggu, sedangkan PJT merupakan gangguan pada pertumbuhan janin sehingga janin memiliki berat di bawah presentil 10.
Faktor risiko BBLR antara lain dibagi menjadi risiko demografik, risiko medis, risiko perilaku dan lingkungan, dan faktor risiko fasilitas kesehatan. Faktor risiko demografik meliputi usia ibu terlalu muda yaitu kurang dari 16 tahun atau terlalu tua yaitu lebih dari 35 tahun, status sosio-ekonomi yang merupakan salah satu penentu utama status gizi, serta tingkat pendidikan yang rendah.
"Faktor usia ibu terlalu muda biasanya banyak ditemukan di pedesaan yang budayanya menuntut anak untuk cepat-cepat dinikahkan, sebaliknya usia terlalu banyak ditemukan di perkotaan, wanita terlalu asik bekerja, lupa menikah," papar Risma.
Faktor risiko medis meliputi kehamilan multipel yang biasanya karena teknik bayi tabung sehingga menghasilkan bayi kembar lebih dari dua, kenaikan berat badan ibu tidak optimal, jarak kehamilan sekarang dengan kehamilan sebelumnya pendek, tekanan darah rendah atau hipotensi, hipertensi atau preeklamsia, infeksi yaitu adanya bakteri dalam urin, rubella, dan cytomegalovirus, pendarahan pada trimester pertama atau kedua, dan cairan ketuban yang jumlahnya sedikit atau terlalu banyak.
Faktor risiko perilaku dan lingkungan meliputi saat hamil terkena paparan asap rokok, status nutrisi buruk, konsumsi alkohol, dan konsumsi narkoba. Serta faktor risiko fasilitas kesehatan seperti perawatan kehamilan yang tidak rutin atau tidak ada sama sekali.
"Seringkali akibat kemiskinan, ibu hamil malas memeriksakan kehamilannya secara rutin bahkan tidak sama sekali, padahal hal itu sangat penting untuk mencegah bayi berat lahir kurang," kata Risma. "Dengan mengetahui faktor risiko, diharapkan masalah bayi berat lahir rendah dapat diatasi sehingga menurunkan angka kematian anak," pungkas Risma.