JAKARTA, KOMPAS.com- Jumlah anak perempuan yang terancam praktik sunat yang mengancam jiwa sudah menurun. Sesuai resolusi Majelis Umum PBB yang telah disahkan dengan suara bulat pada Desember 2012, negara-negara anggota diimbau untuk mengintensifkan upaya-upaya menghilangkan praktik sunat perempuan secara menyeluruh.
Nuraini, Communication Specialist UNICEF Indonesia, Jumat (8/2/2013), mengatakan, penurunan jumlah sunat perempuan tersebut berdasarkan data baru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diluncurkan pada 6 Februari dalam rangka Hari Internasional Tanpa Toleransi untuk Sunat Perempuan.
Di 29 negara di Afrika dan Timur Tengah, di mana praktik sunat perempuan berpusat, rata-rata 36 persen anak perempuan berusia 15-19 tahun telah disunat, dibandingkan dengan kira-kira 53 persen wanita berusia 45-49 tahun.
Penurunan tajam terutama terjadi di beberapa negara seperti Kenya, misalnya, wanita berusia 45-49 tahun memiliki kemungkinan telah disunat sebanyak tiga kali lipat dibandingkan anak perempuan berusia 15-19 tahun. "Kemajuan ini menunjukkan bahwa mengakhiri sunat perempuan adalah sesuatu yang mungkin," kata Direktur Eksekutif UNICEF Anthony Lake.
Data perkiraan terbaru dari UNICEF menunjukkan, setidaknya 120 juta anak perempuan dan wanita telah mengalami sunat perempuan di 29 negara. Berdasarkan tren saat ini, 30 juta anak perempuan di bawah 15 tahun masih memiliki risiko mengalami sunat perempuan.
Program Gabungan antara Dana Kependudukan PBB (UNFPA) dan UNICEF tentang Sunat Perempuan kini tengah membuat kemajuan dalam mencegah anak-anak perempuan dan generasi masa depan mengalami sunat perempuan. Sejak 2008, ketika Program Gabungan antara Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) dan UNICEF dibuat, hampir 10.000 komunitas di 15 negara mewakili sekitar delapan juta jiwa, telah meninggalkan praktik sunat perempuan.
Tahun lalu, sejumlah 1.775 komunitas di seluruh Afrika mendeklarasikan ke publik komitmen mereka untuk mengakhiri sunat perempuan. Bahkan di negara-negara di mana praktik sunat perempuan tergolong umum ditemukan, perilaku terhadap praktik tersebut mulai berubah.
Di Mesir, misalnya, di mana 90 persen anak perempuan dan wanita telah mengalami sunat, persentase dari perempuan berusia 15-49 tahun yang telah menikah, dan berpendapat bahwa sunat perempuan harus dihentikan, naik dua kali lipat dari 13 persen ke 28 persen antara tahun 1995 hingga 2008.
"Wanita dan anak perempuan yang terberdaya adalah kunci mematahkan siklus diskriminasi dan kekerasan dan untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi dan hak-hak reproduksi," kata Babatunde Osotimehin, Direktur Eksekutif UNFPA.
Menurut Osostimehin, bekerja dengan pemerintah dan masyarakat sipil, UNFPA dan UNICEF telah sukses mengimplementasikan sebuah pendekatan berbasis-hak dan peka budaya untuk mengakhiri sunat perempuan.
Direktur Eksekutif UNFPA dan UNICEF mencatat bahwa, jika kehendak politik yang diekspresikan dalam resolusi Majelis Umum diterjemahkan ke dalam investasi konkret, sunat perempuan sebuah pelanggaran serius terhadap hak-hak anak perempuan dan wanita dapat menjadi sisa-sisa masa lalu. Mereka menggaungkan himbauan dalam resolusi tersebut bagi sebuah pendekatan terkoordinasi yang mempromosikan perubahan sosial yang positif di tingkat komunitas, nasional, regional, dan global.
Sebuah kompilasi komprehensif dan analisis data representatif nasional tentang sunat perempuan akan dipublikasikan oleh UNICEF pada pertengahan tahun 2013. Data tersebut akan memberikan penilaian global atas tingkatan dan tren, serta statistik di tingkat nasional dan regional.