JAKARTA, KOMPAS - Angka kematian perempuan akibat tuberkulosis jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kematian lantaran persalinan. Penyakit menular ini juga menjadi penyebab tidak langsung utama kematian perempuan.
Kementerian Kesehatan mencatat, angka kematian ibu akibat persalinan 10.488 per tahun atau 228 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara itu, kematian akibat tuberkulosis (TB) mencapai 31.873 per tahun.
Pada 2012, ada 197.000 kasus baru TB BTA (basil tahan asam) positif. Rinciannya, laki-laki 117.000 orang dan perempuan 80.000 orang. Angka ketercatatan kasus TB perempuan lebih rendah dari laki-laki, 115 per 100.000 penduduk berbanding 151 per 100.000 penduduk. Hampir setengah dari perempuan pengidap TB berakhir dengan kematian.
TB adalah penyakit menular yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini lebih sering menyerang paru walau organ lain (tulang) juga bisa terinfeksi. Penularan terjadi melalui udara, yakni menghirup bakteri yang tersebar dalam percikan bersin atau dahak penderita TB.
Direktur Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama pada Workshop Media tentang Tuberkulosis di Jakarta, Senin (11/3), menyatakan, salah satu penyebab tingginya kematian, karena perempuan cenderung tidak melaporkan kasus. Sebaliknya, laki-laki lebih aktif melaporkan sakitnya ke puskesmas atau rumah sakit.
Ke depan, demikian Yoga, Kemenkes akan meningkatkan wajib catat setiap kasus baru termasuk pada perempuan. Hal ini agar pengobatan dan pengawasan bisa dilakukan sejak dini sehingga kematian dapat dicegah.
TB laten
Tjandra mengingatkan adanya TB laten yang terjadi pada mantan penderita TB. Dalam hal ini Mycobacterium tuberculosis tidak aktif (dormant) karena pengobatan, sewaktu-waktu dapat aktif saat daya tahan tubuh merosot.
"Perilaku hidup bersih dan sehat bagi mantan penderita maupun yang belum terinfeksi penting untuk mencegah perkembangan bakteri," katanya.
Tjandra meminta media lebih aktif menyebarkan pengetahuan yang benar tentang TB dan penanganannya, termasuk soal persediaan obat gratis di puskesmas dan kepatuhan dalam pengobatan selama 6-8 bulan bagi pasien TB.
Untuk mencegah pengidap TB mengalami resistensi multiobat (MDR-TB), yang pengobatannya bisa sampai 1,5 tahun lebih, Yoga mengatakan, Kemenkes melakukan beberapa strategi. Strategi itu antara lain melakukan pengawasan minum obat dan kombinasi dosis obat dalam satu paket. Terkait pengawasan, peran komunitas (LSM dan keluarga) dalam mengontrol sangat diperlukan.
Daniel Maguari dari Yayasan Spiritia mengatakan, Kemenkes perlu mengintegrasikan penanganan TB dan HIV/AIDS di bawah satu atap. Kedua penyakit infeksi ini berhubungan dan saling memengaruhi karena terkait kondisi daya tahan tubuh manusia. (K01)