Kompas.com - Penyakit jantung koroner (PJK) masih menduduki peringkat nomor wahid penyebab kematian di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sumbatan pada pembuluh darah akibat endapan lemak diketahui sebagai salah satu penyebab PJK. Saat ini tindakan minimum invasif untuk menanggulangi sumbatan pada pembuluh darah lebih direkomendasikan oleh para dokter.
Tindakan minimum invasif antara lain pemasangan stent atau yang lebih dikenal dengan " cincin atau ring" pada pembuluh darah untuk membuka pembuluh darah yang tersumbat. Risiko dari tindakan ini lebih kecil daripada operasi bypass yang merupakan operasi besar.
Pemasangan cincin dilakukan melalui kateter lentur yang dimasukkan ke dalam tungkai atau arteri lengan. Dibantu dengan gambar di monitor dokter akan memandu kateter menuju pembuluh darah yang tersumbat. Stent atau cincin tersebut berupa jalinan logam kecil. Stent akan bekerja sebagai penopang untuk menjaga agar pembuluh darah tetap lebar.
Menurut dr. Doni Firman, Sp.JP, spesialis jantung dan pembuluh darah dari Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK), tindakan minumum invasif memang lebih direkomendasikan, namun tetap perlu melihat dari kondisi pasien. Keputusan dilakukan tindakan pemasangan cincin atau operasi bypass antara lain berdasarkan pada parahnya sumbatan dan lokasinya.
"Meskipun tindakan minimum invasif lebih kecil risikonya, namun ada keadaan-keadaan tertentu yang dapat menyebabkan kegagalan tindakan tersebut," katanya disela acara peluncuran Absorb Bioresorbable Vascular Scaffold di Jakarta, Kamis (4/4/13).
Pasien yang memiliki kadar trombosit rendah dan alergi pada obat bukanlah calon yang baik untuk tindakan tersebut. "Saat pemasangan stent, darah pasien dibuat seencer-encernya untuk memudahkan prosedur memasukkan kateter. Jika kadar trombosit pasien terlalu rendah maka pasien bisa kehilangan darah," tutur dokter dari Divisi Non Bedah Intervensi, Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUI/PJNHK ini.
Selain itu, lanjut Doni, dokter juga perlu memperhatikan jika pasien memiliki alergi terhadap obat-obatan pengencer darah. Hal tersebut dikarenakan obat-obatan pengencer darah perlu diminum pasien sebelum menjalani tindakan pemasangan stent.
Pencegahan Lebih Penting
Pasien PJK di PJNHK setiap bulannya mencapai 100 hingga 150 orang. Sebanyak 40 persen di antaranya langsung menerima tindakan pemasangan stent ketika datang karena sudah dalam keadaan gawat. "Sedikit saja terlambat dibawa ke rumah sakit bisa meninggal," ungkapnya Direktur Utama Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, dr.Hananto Andriantoro, Sp.JP, dalam kesempatan yang sama.
Hananto menegaskan, meskipun teknologi pengobatan PJK semakin maju, namun yang paling penting adalah upaya preventif. "Prevensi lebih penting dari kuratif," cetusnya.
Prevensi dapat dilakukan dengan menjalani pola hidup sehat, yaitu dengan olahraga teratur, menghindari makanan berlemak jenuh dan lemak trans, tidak merokok dan minum alkohol, serta mengurangi gula dan garam.