KOMPAS.com - Sarah Zafria, desainer interior, bekerja di kalangan elite. Delapan tahun ia bekerja di New York dengan klien bintang Hollywood seperti Sarah Jessica Parker. Di tangan Sarah, desain interior bukan sekadar perkara kemewahan.
"Bekerja harus pakai hati," katanya.
Sebagai desainer interior, Sarah (37) bekerja mewujudkan mimpi. Sejak 2008, ia membangun perusahaan sendiri di Jakarta, Kotta Interior Design. Ia mendesain interior sejumlah rumah tinggal, kantor, dan unit apartemen papan atas di Jakarta. Kini Sarah bersiap menggarap interior apartemen di Singapura dan townhouse di New York, Amerika Serikat.
Berkunjung ke kantor Sarah di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, beberapa pekan lalu, serasa menikmati galeri seni dan koleksi antik. Mulai dari ukiran tulang buatan Toraja, patung karya perupa kondang, mebel antik, hingga lukisan ada di sana. Tatanan koleksi ini lebih enak dinikmati karena tawa Sarah kerap berderai lepas di sela-sela cerita yang mengalirkan semangat. "Orang Indonesia itu bisa bikin apa pun, sangat kaya talenta," ujarnya.
Foto Sarah bersama sang suami, Wiweko Adi Nugroho, terpajang di beberapa sudut. Di semua foto itu wajah Sarah nyaris tanpa riasan dengan rambut selalu diikat, seperti juga penampilannya saat menemui Kompas.
"Sehari-hari saya memang jarang pakai lipstik, juga tanpa bedak, cuma pakai pelembab. Buat saya yang penting badan bersih dan yang saya pakai nyaman. Kalau proyek sudah selesai dengan segala keringat tertumpah, bolehlah saya tampil gaya."
Bagi Sarah, gaya urusan nomor dua setelah kenyamanan. Baju dan aksesori bukan sarana unjuk kemampuan belanja. "Saya suka perhiasan yang ada history-nya. Kalung ini, misalnya, dibuat dari kayu yang sudah jadi fosil di Flores. Ini gambaran kekayaan Indonesia," tuturnya.
Sarah percaya, tak perlu kehilangan jati diri demi pergaulan. "Saya sangat up to date mode, tetapi enggak mau diperbudak mode. Soal omongan orang, itu terjadi di belahan dunia mana pun. Tak jadi masalah selama kita tetap mengerti bagaimana menghargai orang lain."
Bukan sekadar mewah
Desain interior, bagi Sarah, bukan sekadar perkara kemewahan, melainkan berkaitan erat dengan psikologi manusia. Interior rumah, misalnya, tak bisa dibuat semata mengacu pada tren yang hanya berlaku beberapa saat. Rumah adalah tempat berteduh bagi tubuh dan jiwa. Jadi, pesan Sarah, buatlah rumah sebagai cerminan personal.
Kemauan untuk saling mendengarkan dan rasa saling percaya adalah syarat Sarah bekerja sama dengan klien. Ia mencontohkan, seorang klien menginginkan interior rumahnya bercita rasa Eropa sangat kental.
"Kalau lahannya kurang luas, gaya seberat itu tidak cocok dengan lingkungan dan iklim tropis. Saya akan sarankan bobot Eropa itu dikurangi. Jadi, pemilik rumah tetap dapat yang mereka mau, tetapi ada kompromi. Kalau enggak ketemu, saya pilih mundur. Saya tak akan ambil proyek itu karena bekerja harus pakai hati," ujarnya.
Sarah membatasi diri hanya mengerjakan paling banyak empat proyek besar dalam setahun. Untuk mengerjakan interior sebuah hunian elite dengan luas lebih dari 1.000 meter persegi, misalnya, ia perlu waktu hingga dua tahun.
Sebagai desainer interior, Sarah kerap memadukan unsur etnik dengan gaya modern atau klasik Amerika dan Eropa. Ia juga berusaha memasukkan seni atau materi alam Indonesia. Seni dan materi Indonesia baginya sangat kaya. "Namun, kita harus tahu cara produksi dan penempatannya. Batok kelapa, kerang, dan kulit pari, misalnya, bisa jadi bahan panel dan mebel, tetapi pengerjaannya harus benar-benar rapi dan berstandar internasional."
Sarah juga bekerja sama dengan tukang kayu dan perajin. Pelan-pelan ia menyadari, banyak persoalan membelit perajin, terutama di skala usaha mikro, kecil, dan menengah.
Bekal pengetahuan tentang bahan, perhitungan ergonomi, kecukupan modal, dan mentalitas sulit menerima kritik kerap jadi kendala. "Sudah waktunya kita dan pemerintah lebih perhatian pada UKM."
Ia juga menyimpan perhatian pada anak-anak tak mampu. Mereka bukan hanya butuh dibantu dengan uang, melainkan juga perlu inspirasi. Sarah bercita-cita menjadikan galerinya tempat belajar. Ia berencana menyiapkan sarana dan pelatihan untuk membagi ilmu. "Supaya anak-anak itu tumbuh dengan melihat peluang untuk mengembangkan diri," tuturnya.
Karunia terindah
Sarah sudah bergaya bak desainer interior sejak kanak-kanak. Sejak kelas I SD, ia sudah heboh menata rumah setiap keluarganya akan kedatangan tamu. "Saya minta barang ini dipindah ke sana, yang itu ke sini, dan selalu harus ada bunga segar di posisi yang tepat."
Ia beruntung, sang ibu, Hafizah Shibly, tak pernah keberatan. Ayahnya, Anton Saksono, jadi teman diskusi Sarah—termasuk dalam urusan menata rumah—sejak kecil. Sulung dari dua bersaudara ini tumbuh akrab dengan barang seni koleksi ayahnya. Ia juga amat menikmati "petualangan" keluar masuk museum, pasar seni, dan pasar loak, bersama ayahnya.
Perempuan berdarah campuran Jawa, Kalimantan, dan Pakistan ini meyakini, keluarga adalah permata paling berharga. Suara Sarah mendadak melemah, matanya basah, ketika berkisah tentang ayahnya.
"Papa inspirasi terbesar buat saya. Dia mengajari saya berbagi kepada orang, baik ilmu maupun uang. Kita kaya bukan karena uang. Uang itu sangat membantu, tetapi tanpa rasa kasih dan berbagi, kita tidak akan bahagia.
Pengalamannya menggarisbawahi pesan itu. Ketika bekerja di New York, sebagai lajang dengan gaji besar Sarah gemar belanja. Namun, kegembiraan hanya muncul sesaat ketika ia masih di toko. "Begitu sampai rumah dan belanjaan ditaruh, that's it, hampa rasanya."
Kata Sarah, suami yang berbagi banyak minat bersamanya serta mau menerima apa adanya juga karunia terindah. Dengan rasa syukur, hidup memang jadi indah.
(Nur Hidayati)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini