KOMPAS.com - Terpilih menjadi salah satu perempuan inspiratif dalam Indonesia Digital Women Award 2013, Alfonsa Horeng memang dikenal berani bersuara lantang memperjuangkan tenun ikat, benda seni warisan leluhurnya. Perempuan asal Flores, Nusa Tenggara Timur ini, menerima penghargaan tersebut untuk kategori Cultural Artist.
Alfonsa terdorong untuk memperjuangkan peninggalan budaya nenek moyangnya hampir punah akibat diabaikan itu. Keinginan yang tak terbendung sejak 2002 ini, menggiringnya untuk memelajari tenun ikat. Dengan kesungguhan serta kegigihannya, ia mendokumentasikan seluruh proses pembuatan tenun ikat khas Flores.
"Kain ikat ini menunjukkan identitas siapa diri dan dari mana kita berasal. Melestarikan dan mempertahankan kekayaan leluhur harus dilakukan sekarang sebelum menghilang ditelan masa," katanya kepada KompasFemale, usai acara Indonesia Digital Women Award 2013 di Grand Ballroom, Ritz Carlton Hotel, Jakarta, Senin (29/4/2013) lalu.
Perempuan berlatar pendidikan tinggi teknologi pertanian ini pantang menyerah dan mendatangi satu per satu perempuan di kampung halamannya, Desa Nita, Kabupaten Sikka, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Di Desa Sikka, Alfonsa mendapati bahwa tenun ikat tersebut tidak mungkin didapatkan di belahan dunia manapun.
"Kain tenun ikat kami ini pada setiap proses pembuatannya ada ritual yang harus dilakukan. Jadi ini bukan kain tenun biasa, ada nilai-nilai budaya di dalamnya. Dan kami pun bukan perajin, tapi kami penenun," imbuhnya menjelaskan.
Alfonsa juga menemukan bahwa desa ini sudah menghasilkan berbagai jenis tenun ikat yang hingga kini terkumpul sampai ratusan. Ia memberikan solusi untuk setiap kekurangan yang ia temukan dari tenun ikat yang dibuat secara tradisional itu. Baginya, kualitas tenun ikat harus terjaga mulai dari benang pemintal, perwarna alam, hingga orisinalitas motifnya, karena hal itu melambangkan karakter tanah leluhurnya.
"Kalau bukan kami, siapa lagi yang akan menjaganya? Jangan sampai warisan leluhur ini diambil oleh negara lai. Karenanya saya berjuang memperkenalkan tenun ikat ini kepada generasi muda sekarang. Salah satu media komunikasi yang kami gunakan yaitu digital social media," papar perempuan yang kerap kali menjadi pembicara di mengenai tenun ikat Flores di berbagai forum di Amerika dan Eropa ini.
Alfonsa menjadikan dirinya bagian dari seniwati Flores, terbukti dengan kemampuannya untuk menciptakan kain tenun ikat sendiri. Ia juga mahir berkomunikasi lintas generasi, dan tak canggung berbicara tegas kepada generasi di atasnya, apalagi mengenai kualitas tenun. Ia tahu bagaimana mengambil hati orang di sekitarnya, dan sukses menggandeng generasi muda Flores untuk kembali mencintai tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka.
"Kekuatan dunia digital memberikan keuntungan bagi kami untuk mengedukasi generasi muda sekarang mengenai warisan leluhur ini. Bahkan tidak hanya masyarakat Indonesia, dunia internasional pun tertarik memelajarinya. Bahkan, saya sering dipanggil untuk menjadi pembicara," ungkapnya bangga.
Alfonsa berharap generasi muda sekarang mau kembali memelajari kekayaan budaya leluhur, dan ikut andil dalam menjaga kelestariannya. Jika bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikannya?
Dan Alfonsa, tidak sekadar berkata-kata. Saat ini ia memimpin Sentra Tenun Ikat Lepo Lorun di desanya, yang tersebar di 17 desa di Sikka. Ada 863 penenun aktif yang kini terangkat derajatnya berkat sebutan seniwati yang diberikan oleh Alfonsa.
Editor :
Dini