KOMPAS.com - Elis mengenakan gaun mini warna merah jambu yang mencolok. Di tengah panggung ia terduduk lemas. Keinginannya untuk bebas dari suami yang menindas dengan menjadi pelacur pun ternyata masih membuatnya terpasung. Tak ada ruang bebas untuknya sebagai perempuan.
Sosok Elis bisa jadi hanya rekaan dalam novel terbaru Okky Madasari berjudul Pasung Jiwa, tapi kehadirannya terasa dekat. Ada berapa banyak perempuan yang menahan diri demi tetap mempertahankan keluarga, atau ada berapa perempuan yang mencoba membebaskan diri lalu kemudian terperangkap lagi. Satu, dua, atau mungkin lebih.
Elis yang diperankan aktris Maryam Supraba tampil mencolok dan menarik perhatian dalam pementasan Pasung Jiwa yang digelar di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (15/5/2013) lalu. Disutradarai Herry W Nugroho dan R. Tono, pementasan yang bertepatan dengan peringatan 15 tahun reformasi ini tampil menohok dengan selingan humor di antaranya.
Sosok Elis lalu seperti mewakili perempuan kebanyakan yang menikah lalu merasa ditindas suami. Dia memilih jalur bebas dari kungkungan. Namun di luar dirinya, ia masih belum bisa bebas sepenuhnya.
Selain sosok Elis, juga hadir tiga karakter lain yang seolah mewakili wajah-wajah yang ada di sekitar kita. Mereka yakni Sasana, Jaka Wani, dan Kalina. Ketiganya juga sama, sama-sama terpasung jiwanya.
Kalina, sebagai buruh pabrik tak kuasa menahan diri untuk berontak ketika mandor yang telah memperkosanya justru memecat begitu tahu ia hamil. Di keterpurukannya, juga tak ada teman-teman sesama buruh yang memperjuangkan.
Sementara Sasana, di awal kita melihatnya sebagai seorang laki-laki. Tapi seiring dengan waktu ia bertransformasi menjadi perempuan. Ada bagian dalam dirinya yang keluar dan itu membuatnya bahagia. Tapi di luarnya, ada norma dan aturan yang memasung.
Teman lamanya, Jaka Wani, pun bernasib hampir sama. Menjadi buruh pabrik dengan hanya bergaji Rp 90.000 per minggu. Uangnya lalu habis untuk mabuk, salah satu cara melupakan pahitnya hidup. Dalam kemiskinannya ia terperdaya.
Dengan durasi yang cukup pendek, kurang dari 60 menit, pementasan Pasung Jiwa tampil dengan sederhana tapi sangat lugas dalam bercerita. Kata-kata yang disampaikan pendek-pendek dan klimaks di beberapa bagian.
Sebagai hiburan, ada juga adegan menyanyi dangdut dan bergoyang. Beberapa kali terdengar gelak tawa dari bangku penonton yang penuh. Tampak, sebagian besar penonton adalah perempuan, dari mahasiswa sampai yang sudah lanjut usia.
Pementasan ini sekaligus menandai peluncuran novel keempat Okky Madasari, Pasung Jiwa, terbitan Gramedia Pustaka Utama. Sebelumnya, ia menulis Entrok, 86, dan Maryam. Tahun lalu, penulis berusia 28 tahun itu meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award lewat karyanya Maryam.
Editor :
Dini