KOMPAS.com - Permasalahan ereksi seringkali menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan dan dikonsultasikan oleh setiap pria, terutama kepada dokter. Sebaliknya, permasalahan ini justru dibicarakan di luar bidang medis yang umumnya bukan menyelesaikan masalah, namun malah menambah masalah.
Padahal menurut urolog dari Departemen Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) dr. Nur Rasyid, permasalahan ereksi 60 hingga 70 persennya dapat disembuhkan dengan berkonsultasi ke dokter.
Nur mengatakan, selama ini pasien umumnya malu untuk mengatakan bahwa dirinya mengalami permasalahan ereksi yang dikenal dengan istilah impotensi atau disfungsi ereksi (DE). Menurutnya, salah satu faktor terbesar yang menyebabkan pasien malu adalah ketidaktahuan yang cukup tentang seluk beluk DE dan cara mengobatinya.
"Pasien umumnya tidak tahu bahwa diagnosanya sebenarnya mudah, terapinya juga mudah," ujarnya dalam seminar media yang bertajuk "Disfungsi Ereksi: mengapa pria enggan membicarakan serta mengonsultasikannya ke dokter?" Rabu (22/5/2013) di Jakarta.
Nur memaparkan, diagnosa yang dilakukan pada pasien yang mengeluhkan kesulitan ereksi dapat ditegakkan dengan tiga langkah sederhana, yaitu pengisian kuesioner, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium sederhana. Setelah pasien mengikuti ketiga tahap ini, diagnosa dapat ditegakan.
Spesialis penyakit dalam dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM dr. Em Yunir mengatakan, berdasarkan hasil riset yang dilakukannya di RSCM, penyebab umum pasien enggan berkonsultasi tentang DE adalah menganggap DE sebagai penyakit normal yang terjadi akibat bertambahnya usia.
"Selama tidak ada tuntutan, pasien umumnya merasa DE adalah problem yang memang sudah harus terjadi sesuai dengan umurnya," tuturnya.
Lantaran berpikir demikian, pasien pun lebih banyak berkonsultasi mengenai penyakit degeneratif lain yang sebenarnya merupakan faktor risiko DE, seperti diabetes mellitus, kolesterol tinggi, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi liver, hipertensi, stroke, penyakit jantung, gangguan hormonal, dan lain-lain. Padahal jika ditanya lebih lanjut, pasien baru mengakui sebenarnya mereka juga mengalami DE.
"DE masih dianggap bukan permasalahan utama, padahal mungkin juga diresahkan," kata Yunir.