Jakarta, Kompas - Suplemen dalam berbagai bentuk untuk memperoleh "kesempurnaan" tubuh marak beredar di pasaran. Konsumennya tidak hanya atlet, tetapi juga masyarakat umum. Tanpa mengetahui cara penggunaan yang tepat, suplemen bisa dikategorikan doping dan membahayakan tubuh.
Dokter spesialis keolahragaan, Michael Triangto, Senin (6/5) di Jakarta, menjelaskan, suplemen sebenarnya adalah makanan tambahan untuk mengisi kekurangan zat dalam tubuh. Bentuk dan fungsinya beraneka ragam.
"Ada yang berbentuk tablet, kapsul, bubuk seperti susu, dan lain-lain. Fungsinya juga macam-macam, di antaranya untuk memperbesar otot, menurunkan berat badan, dan meningkatkan energi," ujar Michael.
Menurut Michael, yang berpengalaman menjadi dokter di pelatnas bulu tangkis Indonesia, keinginan memiliki bentuk tubuh indah terjadi di kalangan masyarakat umum. Untuk mempercepat proses tersebut, suplemen menjadi salah satu pilihan.
Namun, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum suplemen dikonsumsi, salah satunya si pengguna harus memperhatikan kondisi tubuhnya sendiri. Suplemen hanya bisa digunakan seseorang dengan kondisi fisik sehat.
"Mereka yang sakit harus berkonsultasi dahulu dengan dokter karena bisa saja zat dalam suplemen justru memperparah sakitnya," kata Michael.
Pemakai suplemen juga harus membaca dengan detail petunjuk yang ada dalam kemasan. Michael bahkan menyarankan, pengguna baru sebaiknya mengurangi dosis dari yang disarankan. "Umumnya, dosis suplemen dalam kemasan adalah untuk konsumen orang Barat yang bertubuh lebih besar dari orang Indonesia. Postur tubuh juga memengaruhi dosis yang semestinya dikonsumsi," ujar Michael.
Tanpa dosis yang tepat, efek negatif akan muncul pada penggunaan terus-menerus, seperti kebotakan, ginjal dan hati tak berfungsi, serangan jantung, penglihatan terganggu, serta gangguan otak dan syaraf.
Karena itu, penggunaan suplemen akan lebih baik jika didampingi petunjuk dokter. "Jangan mengikuti petunjuk teman atau saudara yang sudah memakai karena bisa saja efeknya berbeda," ujar Michael.
Apalagi, seperti diungkapkan dokter olahraga lainnya, Roy Tobing, banyak suplemen pembentuk massa otot yang tidak terdaftar dan tidak memiliki izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Para penjual suplemen beralasan, barang dagangan mereka sudah terdaftar di Food and Drug Association Amerika Serikat atau terdaftar di negara maju lainnya.
"Konsumen harus waspada dengan suplemen yang tidak terdaftar di BPOM. Sering kali tidak seluruh kandungan suplemen ditulis dengan jujur. Ada zat anabolic steroid dimasukkan, tetapi tidak ditulis," kata Roy.
Pemakaian dalam jumlah besar bagi atlet dapat terlihat efek negatifnya dalam kurun waktu tiga sampai empat tahun. Bagi masyarakat yang tidak rutin menggunakan, efek negatifnya bakal dirasakan dalam 20-30 tahun.
Kepala BPOM Lucky S Slamet mengatakan, pihaknya tidak secara langsung melakukan pengawasan terhadap zat, terutama steroid, yang disalahgunakan. Menurut dia, BPOM hanya melakukan pengawasan terhadap bahan yang boleh dan tidak digunakan dalam suatu produk.
Di dunia olahraga, Lembaga Anti-doping Indonesia (LADI), sebagai kepanjangan tangan Badan Anti-doping Dunia (WADA), berperan penting dalam menjaga sportivitas. Mereka juga harus melindungi atlet dari penggunaan zat terlarang.
Namun, pelaksanaannya ternyata tak mudah. "Aturan dari WADA sebenarnya sudah jelas. Kekurangan anggaran operasional untuk melaksanakan tugas pengawasan menjadi kendala terbesar lembaga ini," kata Ketua Umum LADI Dr Dwi Hatmisari Ambarukmi.
Dwi menjelaskan, peran LADI menjadi penting karena bertanggung jawab untuk mengawasi penggunaan zat terlarang dalam daftar WADA. Daftar zat yang selalu diperbarui setiap tahun menjadi pegangan LADI dan laboratorium pengawasan doping di seluruh dunia dalam menentukan sah atau tidaknya prestasi atlet. (che/eca/mhd/iya)