KOMPAS.com - Indonesia ternyata tidak memiliki aturan tentang laboratorium. Aturan ini menerangkan kelengkapan, kelayakan, dan keamanan suatu laboratorium, termasuk kepemilikan sejumlah sampel penelitian. Belum adanya aturan tentang laboratorium memungkinkan Indonesia berada dalam ancaman atau teror menggunakan makhluk hidup (bioteroris).
"Kita tidak punya UU yang mengatur laboratorium. Alhasil, kita tidak tahu apa dan bagaimana bila menemukan sampel berbahaya," kata ahli biologi molekuler dari Universitas Airlangga, Dr. drh. CA. Nidom pada seminar sehari "Celebrating 60 Years DNA Discovery" di Titan Centre, Jakarta, Selasa (4/6/2013) kemarin.
Padahal, laboratorium adalah sumber rekayasa genetika. Dari tempat inilah ditemukan organisme baru yang tidak atau sengaja ditemukan manusia. Di laboratorium pula, organisme yang tidak atau berbahaya berasal. Ketiadaan peraturan tentang laboratorium, menjadikan tempat penelitian bisa menyimpan sampel berbahaya. Laboratorium juga bisa melakukan berbagai eksperimen karena tidak adanya aturan.
"Aturan ini bukannya lantas mengekang penelitian. Namun harus ada aturan, misal kalau menemukan sampel berbahaya kita harus kemana dan bagaimana melaporkannya," kata Nidom.
Seorang peneliti, menurut Nidom, memiliki akses besar terhadap peluang munculnya berbagai organisme baru, baik yang berbahaya maupun tidak. Di banyak negara maju, aturan tentang laboratorium sudah diterapkan. Aturan ini memungkinkan peneliti menerapkan peraturan tentang pelaksanaan suatu riset. Adanya aturan juga membentengi masyarakat dari efek negatif, bila terjadi hal yang tidak diinginkan dalam suatu riset.
"Sebaiknya kita berkaca pada kasus Namru beberapa waktu lalu. Saat terjadi kebocoran tidak yang bisa, mau, ataupun dipaksa bertanggung jawab," imbuhnya
Adanya peraturan tentang laboratorium memungkinkan Indonesia dapat mengantisipasi risiko dan ancaman bioterorisme. Makhluk hidup yang biasa digunakan adalah virus atau bakteri. Kedua makhluk ini akan menyerang masyarakat hingga mengakibatkan sakit, dan tidak bisa beraktivitas.
"Kita tidak tahu apa yang dilakukan laboratorium, atau sampel apa yang mereka punya. Selama aturannya belum ada sangat mungkin kita jadi sasaran bioterorisme, baik yang dikembangkan di dalam atau luar negeri," kata Nidom.