Minggu, 18 Desember 2011 | 18:31 WIB
TEMPO.CO, Jakarta-Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab utama kematian global. Tercatat sebagai penyakit serius, kanker memerlukan biaya pengobatan yang mahal yang sering dikeluhakan para pasien dan keluarga. Karena itu, sebuah studi tentang dampak sosial ekonomi kanker bakal dilakukan pada 2012 di 12 rumah sakit di Indonesia.
"Saat ini besarnya permasalahan kanker di Indonesia, terutama terkait dampak ekonomi, belum diketahui secara pasti. Untuk itu penting sekali dilakukan penelitian-penelitian terkait. Ini tentu akan menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dalam pengendalian kanker di Indonesia," kata Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningnih dalam acara pembukaan studi ASEAN Costs in Oncology (Action), pekan lalu di Hotel JW Marriott, Jakarta.
Selain Indonesia, studi ini juga dilakukan pada tujuh negara anggota ASEAN lainnya yaitu Malaysia, Kamboja, Laos, Myanmar, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Studi Action ini dilakukan atas kerjasama ASEAN Foundation, the George Institute, PT Roche, dan Universitas Indonesia.
Endang mengatakan hasil studi ini nantinya bisa bermanfaat untuk mengetahui besaran biaya yang dihabiskan untuk penderita kanker dan keluarganya selama perawatan. Pada gilirannya, hasil ini tentunya bisa digunakan dalam bahan pertimbangan dalam menyusun perencanaan berdasarkan fakta (based evidence) yang komprehensif, mulai dari upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitative maupun paliatif.
Studi Action di Indonesia melibatkan survei yang dilakukan sepanjang 2012. Responden yang terlibat dalam studi tersebut adalah pasien yang terdiagnosis menderita kanker. Indonesia akan menjadi kontributor terbesar yaitu 2400 pasien kanker dari jumlah total yang dikaji 10 ribu responden. Investigator Kepala Studi Action Hasballah Thabrany mengatakan kriteria pasien yang bakal dilibatkan dalam studi ini adalah pasien yang terdiagnosis mengidap kanker dalam enam minggu terakhir.
Hal ini dilakukan terkait dengan survival rate pasien yang diharapkan masih bertahan hidup selama satu tahun kedepan. Selain itu pasien adalah mereka yang berusia produktif yaitu 18 tahun ke atas. Kriteria lainnya adalah pasien adalah mereka yang di 12 rawat di rumah sakit di Indonesia.
Rumah sakit yang dipilih, kata Hasballah, adalah rumah sakit yang mempunyai banyak pasien kanker dan menjadi rujukan pasien kanker. Rumah sakit tersebut diantaranya Dharmais, RSCM, MRCCC Siloam, Medistra, Hasan Sadikin Bandung, Kariadi Semarang, Sardjito Yogyakarta, Sanglah Denpasar, serta Adam Malik Medan. "Semua biaya yang akan kita hitung. Bukan cuma beban yang dikeluarkan untuk biaya rumah sakit, tapi ada beban lain misalnya keluarga yang menunggu. Kalau ada keluarga menunggu kan tidak kerja, nah kami hitung juga itu," kata Hasballah yang juga guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Dia menjelaskan, pasien yang direkrut akan dipantau selama satu tahun dan serangkaian pertanyaan serta buku harian biaya akibat kanker akan diberikan pada setiap pasien. Ini untuk menentukan beban keuangan seperti kemiskinan akibat sakit, kualitas hidup, dampak psikologi, biaya rumah sakit, biaya kesehatan di luar rumah sakit, biaya lain-lain, biaya tidak langsung, kesulitan ekonomi, serta status penyakit dan status survival.
Hasil penelitian ini, kata Hasballah, bisa bermanfaat dalam menentukan biaya yang ditanggungg dalam Jamkesmas atau Asuransi Kesehatan. Dia mencontohkan, seandainya biaya ekonomi pasien kanker adalah Rp 8 juta dan angka ini berada di bawah biaya yang ditanggung Jamkesmas, maka pemerintah bisa menjadikan angka itu sebagai angka patokan yang ditanggung Jamkesmas. Seandainya nanti pasien harus mengeluarkan angka yang lebih tinggi atau menghendaki pelayanan dengan biaya yang lebih mahal, maka pasien menanggungnya sendiri.
Hasballah mengatakan tanpa intervensi yang bersipat segera, beban kanker akan menjadi meningkat pesat dengan tuntutan terhadap sistem kesehatan dan biaya ekonomi yang akan menjadi terlalu besar untuk ditanggung negara. AMIRULLAH