KOMPAS.com - Batik dan matematika menyatu dalam Nancy Margried. Ia tak dididik untuk jadi pengusaha, tetapi rintisan bisnisnya menuai penghargaan hingga ke mancanegara.
Nancy bilang, tak punya kantor. Ia mengelola perusahaannya, Piksel Indonesia, dari rumah. Enak sekali karena sambil kerja, ia sesekali bermain dengan George, kucing kesayangannya. Pagi itu, ia bercelana jins dengan kaus putih. Tampak begitu riang.
Perusahaan yang ia bangun bertiga dengan Muhammad Lukman dan Yun Hariadi pada 2007 itu memang hanya dijalankan dengan tim kerja kecil. Meski begitu, Piksel Indonesia sukses menciptakan perangkat lunak "JBatik" yang kini sudah dimanfaatkan oleh sekitar 700 perajin batik di Indonesia.
Tentu ada kesenjangan yang harus dijembatani untuk membuat perajin mau dan bisa menggunakan perangkat lunak ini. Karenanya, penjualan perangkat lunak yang dibanderol dengan harga Rp 350.000 itu juga harus disertai sosialisasi dan pelatihan.
Jadi, Nancy pun keluar-masuk kampung memberi pelatihan kepada perajin. Tak sedikit di antara mereka semula gagap membedakan klik kanan dan kiri pada mouse, tetapi belakangan asyik dan lincah menggunakan perangkat itu.
Harapan orangtua
Gadis berdarah Batak ini tidak tumbuh dalam lingkungan yang akrab dengan batik. Semasa remaja, Nancy yang besar di Medan, Sumatera Utara, ini juga benci bidang studi matematika. Karenanya, ia memilih ilmu komunikasi di Universitas Padjajaran, Bandung. Ketika itu, yang terpenting buat Nancy adalah kuliah di Bandung. Di matanya, kota itu semarak dengan energi anak-anak muda kreatif.
Putri kedua dari empat bersaudara ini tumbuh dengan membawa harapan orangtua agar suatu saat ia bekerja sebagai pegawai negeri sipil, karyawan badan usaha milik negara, atau karyawan perusahaan besar. "Pokoknya hidup terjamin, terarah, dan tidak terlalu adventurous."
Namun, ketika magang di sebuah perusahaan besar sambil merampungkan studi, Nancy justru menyimpulkan, itu bukan lingkungan kerja yang ia inginkan. "Saya ingin jadi pengusaha. Waktu itu belum tahu bidangnya apa, enggak tahu juga caranya gimana."
Tuntutan untuk mandiri begitu merampungkan kuliah memang membuatnya sempat jadi karyawan. Namun, justru dari situ ia belajar tentang pengelolaan usaha.
Batik Fractal
Dengan "JBatik", Piksel Indonesia juga memproduksi dan memasarkan produk kain dan busana siap pakai berlabel Batik Fractal. Bahkan, merambah pula ke produk interior. Di Museum Bursa Efek Indonesia, misalnya, Batik Fractal membuat ornamen interior, bukan dengan diterapkan pada kain, melainkan pada kaca, logam, akrilik, dan neon box.
Pada kain, motif yang didesain dengan "JBatik" dituangkan dengan malam sebagai perintang kain dan canting, sedangkan pada logam misalnya, motif itu dicetak dengan laser. Dalam produksi Batik Fractal, Nancy pun bekerja sama dengan perajin di beberapa daerah.
"Kadang, kalau kerjaan sedang banyak dan waktunya sudah mepet, saya nungguin, nyiapin minum, sampai mijetin pembatiknya juga," ujarnya dengan tawa berderai.
Mendesain batik dengan perangkat lunak komputer, diakui Nancy, berarti menghapus unsur ritual yang tak jarang ada di balik proses pembuatan motif secara tradisional. Hanya dengan duduk di depan layar komputer, satu motif bunga bisa jadi banyak model dengan mengubah parameter-parameter tertentu. Dalam kancah industri, "JBatik" jadi dimensi lain upaya mengembangkan tradisi.
"Jatah" gagal
Gagasan pengembangan teknologi "JBatik" dan bisnis Batik Fractal semua hanya berawal dari obrolan ringan Nancy dengan dua sahabat yang amat berbeda latar belakang dengannya. Yun, matematikawan, dan Lukman, arsitek yang juga tergila-gila pada matematika.
Celotehan mereka di kafe berlanjut dengan penelitian selama setahun untuk membuktikan bagaimana batik bisa diuraikan dengan rumus matematika fraktal. Penelitian itu membuat Nancy dan dua sahabatnya serius mempelajari batik dan tradisinya di sejumlah daerah.
Modal usaha dikumpulkan Nancy dan dua sahabatnya dengan memenangi sejumlah kompetisi inovasi. Pada 2008, Piksel Indonesia menerima UNESCO Award of Exellence. Pada 2009, mereka membangun perangkat lunak "JBatik" dengan dana hibah inovasi bisnis dari USAID. Masih panjang lagi, daftar prestasi yang didapat oleh temuan teknologi dan konsep bisnis ini.
Meski begitu, Nancy meyakini jadi pengusaha juga harus siap menghadapi siklus jatuh bangun. Karena itu, kepada orangtuanya yang sudah memupus harapan melihatnya jadi pegawai, kata Nancy, ia meminta waktu untuk belajar dari kegagalan. "Kegagalan itu sesuatu yang esensial dan harus dilalui. Selalu ada jatah gagal buat kita," ujarnya.
Toh, nada suara Nancy tak berbeban. Gairah dan semangat terus menular ketika mendengarkannya bercerita.
(Nur Hidayati)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini