KOMPAS.com - Melalui waktu 30 tahun, perancang busana Biyan Wanaatmadja melewati pencarian jati diri, mengatasi kebimbangan dalam persimpangan pilihan karier, sampai akhirnya tiba pada pencapaian mimpi yang sebelumnya sempat dikuburkan.
Biyan merefleksikan perjalanan kariernya tersebut dalam satu kalimat: "Saya meyakini orang tidak boleh berhenti bekerja dan berupaya. Tetapi, yang paling penting harus tahu diri, semua terjadi bukan karena saya sendiri. Ada yang memengaruhi saya: ibu, iman, tim kerja, teman."
Kerja keras, konsisten, tahu diri itu membawa Biyan pada tataran baru kariernya. Impian yang sempat dia kuburkan, akhirnya mewujud. Seorang distributor internasional merek-merek mode papan atas dunia menangani label utama, Biyan, sejak dua tahun lalu. "Biyan" didistribusikan melalui Paris ke 10 kota besar dunia, termasuk Paris, Madrid, New York, Dubai, Bangkok, dan Hongkong, untuk department store dan butik khusus. Label Biyan juga mendunia melalui toko internet Net-A-Porter.
Konsistensi dan kerja keras perancang kelahiran Surabaya ini terlihat dari disiplin hidupnya, bekerja enam hari seminggu dan memulai hari kerjanya dari pukul 09.00. Sepulang kerja, dia memilih kembali ke rumah karena energinya sudah habis. "Clubbing sampai jam lima pagi sudah saya lalui waktu masih kuliah mode di London," kata Biyan. Dia pernah mengatakan secara bergurau, mungkin karena ber-shio kuda sehingga bekerja keras menjadi etos hidupnya.
Tetap menangani sendiri konsep desain, pengembangan merek, hingga konsep pemasaran selama 30 tahun memperlihatkan ketekunan Biyan. Dia terus membangun tim inti manajemen, meskipun ada masa anggota tim datang dan pergi sebelum akhirnya mendapat tim yang kokoh. Dia tak menyerah meski tiap kali harus melatih karyawan baru, terutama yang bekerja dengan tangan, untuk mewujudkan desain yang rumit dan halus, karena pegawainyanya dibajak pengusaha lain atau keluar untuk mandiri.
Bagi Biyan, tantangan yang membuat sejumlah desainer akhirnya menyerah itu, justru menghasilkan peluang. Pada akhirnya dia merasa bangga ketika mereka yang pernah satu tim dengannya mandiri dan memiliki merek sendiri. Ada yang berkarier sebagai desainer di Tanah Air, ada yang memilih membuat bisnis mode di Amerika Serikat, ada yang menjadi anggota tim inti Jean-Paul Gaultier, perancang asal Perancis, dan menjadi tangan kanan Dries van Notten, desainer dari Belgia.
Akhirnya label Biyan sampai di Paris yang dianggap pusat mode dunia, dan juga mendunia?
Saya sering ditanya beberapa teman, kapan pindah ke Paris supaya rancangan saya bisa dikenal lebih luas. Tetapi, saya pikir, apakah untuk bisa dikenal di dunia harus bekerja dari Paris, artinya ke luar dari Indonesia. Apakah tidak bisa dibalik, tetap bekerja dari Indonesia dan mereka yang datang mencari ke Indonesia. Kalau saya harus ke Paris membuat pergelaran di sana dengan modal besar, saya tidak mampu melakukannya.
Saya lalu berdamai dengan kondisi tidak bekerja di luar Indonesia juga tidak apa-apa. Dalam situasi berdamai dengan mimpi ke luar negeri yang sudah saya kubur dalam-dalam itu, saya belajar rendah hati. Semua saya jalani, tidak usah merasa tidak bagus juga dengan tetap bekerja di Indonesia.
Meski begitu, saya tetap memegang prinsip harus membuat karya sebaik mungkin. Saya sampai di Paris saat ini seperti konsekuensi yang tidak logis.
Maksudnya?
Empat tahun lalu ada teman dari teman datang dan bertemu saya. Dia mengatakan berminat memasarkan produk saya di luar Indonesia. Sebelumnya ada sejumlah orang menawari hal sama, tetapi belum cocok. Dengan Nancy Ho yang pernah bekerja di Yohji Yamamoto dan sekarang memegang 60 merek internasional, saya langsung klik.
Pertanyaan pertama saya, bagaimana melakukannya karena kapasitas produksi saya sudah penuh untuk dalam negeri saat itu. Dia mengatakan, saya dapat melakukan apa yang bisa saya lakukan.
Setelah itu, masuk ke situs jaringan Net-a-Porter di Inggris, AS, Hongkong. Sekarang ada permintaan dari beberapa kota, termasuk dari Moskwa dan Kazakhstan. Harus pelan-pelan, terus belajar. Saya tidak membayangkan akan menjadi massal.
Kalau tidak ada peluang di Paris, mungkin saya lebih santai. Tetapi, hidup bagi saya bukan untuk bersantai. Ini pekerjaan rumah baru bagi saya, tahapan berikut kehidupan saya, suatu tugas baru.
Karena cinta
Biyan melalui 30 tahun dengan jatuh bangun. Dia pernah berada di titik nadir ketika koleksi yang dia buat tidak diterima pasar. Dia juga pernah harus memutuskan antara membuat pergelaran tahunan atau menyiapkan toko baru. Juga pernah mendapat kritik tajam dari media pada awal kariernya.
Namun, semua itu membuat dia semakin kuat karena menjadi bahan belajar dan berproses. Dapat dikatakan, dia berhasil membuktikan keprofesionalannya sebagai perancang busana.
Apa makna capaian 30 tahun berkarya?
Dengan adanya peluang baru melalui Paris dan Net-a-Porter, saya bersyukur pilihan saya tidak salah dalam arti tidak harus ke luar negeri untuk membawa karya saya ke luar Indonesia.
Saya tidak pernah mengharapkan ini terjadi, bahkan mimpi sudah saya pendam dalam-dalam dan karenanya saya belajar untuk terus rendah hati. Saya juga belajar, ketika kita berencana tidak selalu akan berjalan seperti yang kita rencanakan. Ketika kita sudah tidak merencanakan lagi, ada kejutan terjadi. Saya memaknai semua itu dengan mata iman saya. Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang memutuskan.
Pernah merasa bosan?
Saya tidak pernah merasa bosan dengan dunia saya sebagai perancang. Yang pernah terjadi, saya seperti sesak, butuh bernafas ketika ada pekerjaan yang bertumpuk tumpang-tindih.
Di sisi lain, saya tidak dapat berhenti karena begitu banyak orang menunggu. Klien, karyawan, tim saya. Pernah juga terjadi kekacauan sedikit karena beberapa orang tidak masuk sebab sakit. Saya harus turun tangan sendiri. Jadi, tidak ada waktu untuk bosan, tidak boleh jenuh, harus jalan terus.
Sebelum Paris, "Biyan" pernah hadir di Hongkong dan Singapura melalui jalur berbeda?
Di Singapura empat musim, Hongkong juga begitu, lalu Singapura lagi. Semua terus berjalan. Sementara, yang di dalam negeri selalu setia, sangat menghargai, mendukung, dan menerima. Saya tidak akan sampai di sini kalau tidak didukung klien, pelanggan saya.
Tahun lalu saya bertemu teman lama saya di London College of Fashion. Dia bilang terpukau yang saya bawa ke Paris buatan Indonesia. Ketika dia mengatakan itu, saya menyadari untuk tidak pernah berhenti belajar, tidak pernah mengendurkan semangat.
Dulu Indonesia dikenal di mana-mana melalui pakaian, tetapi sebagai garmen. Kini dunia berubah, kemajuan teknologi informasi digital memberi kesempatan yang sama pada semua orang untuk menjadi warga dunia. Yang saya lakukan saat ini sepenuhnya saya dedikasikan untuk Indonesia.
Tentang program industri kreatif pemerintah?
Saya berprinsip, terus lakukan yang terbaik dan terus berusaha. Jangan terlalu banyak berharap pada orang lain. Saya melakukan pekerjaan saya dengan kesungguhan dan cinta sehingga saya selalu menantikan untuk melakukan dan menghasilkan apa pun yang baik ketika semakin banyak orang mengenal hasil kerja dan sikap kita.
(Ninuk M Pambudy/Nur Hidayati)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini